Kamis, 25 April 2024

BAB V MANUSIA MAKHLUK SOSIAL (Bagian 5a)

Nama : Baiq Ziadatul Afni Azkiya

NIM : 2315011007

 SOSIAL MANUSIA MAHLUK

5.1 Pola Hubungan Vertikal Mahluk-Khalik

Setiap ibadah yang diperintahkan Allah SWT adalah untuk meningkatkan hubungan vertikal dan sekaligus horizontal secara seimbang. Hubungan vertikal yakni berupa hubungan kita dengan Allah (hablun min Allah). Sedang hubungan horizontal adalah hubungan kita dengan sesama makhluk Allah SWT, khususnya manusia (hablum min annas).  Hubungan ini merupakan bentuk komunikasi yang bersifat eksternal antara manusia secara pribadi dengan pihak lain di luar dirinya. Namun, ada satu bentuk komunikasi yang sering luput dari perhatian kita, yaitu hubungan dengan diri sendiri (hablun min annafs).

Merajut hubungan dengan Allah SWT, dengan sesama dan dengan diri sendiri terasa semakin sering diabaikan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Akibatnya, terjadi hubungan dengan Allah SWT, misalnya, kita sering terjebak pada hal-hal yang bersifat rutinitas daripada bentuk ketundukan kepada-Nya. Beribadah sering kali hanya sebagai seremonial tidak menghadirkan kekhusyukan, dan beribadah menjadi beban bukan menjadi kebutuhan, dan beribadah pada akhirnya kurang berimplikasi terhadap kehidupan pribadi dan sosial.

Islam bukanlah agama yang diperintahkan untuk hanya beribadah kepada Allah SWT tanpa memikirkan kehidupan dunia, begitupun sebaliknya tidak juga hanya mengejar kehidupan dunia saja dengan melalaikan ukhrawi. Tetapi setiap ibadah itu harus seimbang antara dunia dan akhirat. Salat diawali dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam yang mendoakan seluruh makhluk yang ada di bumi ini.

Artinya, dalam bacaan shalat pun ada hubungan antara Allah SWT dan sesama. Begitu pun dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan, puasa merupakan ibadah sirriyyah yang penilaiannya langsung oleh Allah SWT, setelah satu bulan berpuasa yang merupakan peningkatan hubungan dengan Allah SWT, maka di akhir Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri kita diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang akan memperkuat hubungan kita dengan sesama manusia.

Dalam Islam, salah satu media yang membahas hubungan dengan Allah adalah shalat. Jika kita melakukan refleksi, akan bisa memahami bahwa ketika memulai salat kita awali dengan bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh khusyuk sesungguhnya salatku, ibadahku, kehidupan, dan matiku, kupersembahkan hanya untuk Allah Rabbul 'Alamin.


-
Menjelang akhir Ramadhan, semakin kita rasakan, bahwa setiap ibadah yang diperintahkan Allah SWT adalah untuk meningkatkan hubungan vertikal dan sekaligus horizontal secara seimbang. Hubungan vertikal yakni berupa hubungan kita dengan Allah (hablun min Allah). Sedang hubungan horizontal adalah hubungan kita dengan sesama makhluk Allah SWT, khususnya manusia (hablum min annas).

Hubungan ini merupakan bentuk komunikasi yang bersifat eksternal antara manusia secara pribadi dengan pihak lain di luar dirinya. Namun, ada satu bentuk komunikasi yang sering luput dari perhatian kita, yaitu hubungan dengan diri sendiri (hablun min annafs).


Merajut hubungan dengan Allah SWT, dengan sesama dan dengan diri sendiri terasa semakin sering diabaikan dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini. Akibatnya, membandingkan hubungan dengan Allah SWT, misalnya, kita sering terjebak pada hal-hal yang bersifat rutinitas daripada bentuk ketundukan kepada-Nya. Beribadah sering kali hanya sebagai seremonial tidak menghadirkan kekhusyukan, dan beribadah menjadi beban bukan menjadi kebutuhan, dan beribadah pada akhirnya kurang berimplikasi terhadap kehidupan pribadi dan sosial.



Islam bukanlah agama yang diperintahkan untuk hanya beribadah kepada Allah SWT tanpa memikirkan kehidupan dunia, begitupun sebaliknya tidak juga hanya mengejar kehidupan dunia saja dengan melalaikan ukhrawi. Tetapi setiap ibadah itu harus seimbang antara dunia dan akhirat. Salat diawali dengan takbiratulihram dan diakhiri dengan salam yang mendoakan seluruhmakhluk yang ada di bumi ini.


Artinya, dalam bacaan shalat pun ada hubungan antara Allah SWT dan sesama. Begitu pun dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan, puasa merupakan ibadah sirriyyah yang penilaiannya langsung oleh Allah SWT, setelah satu bulan berpuasa yang merupakan peningkatan hubungan dengan Allah SWT, maka di akhir Ramadhan sebelum shalat Idul Fitri kita diwajibkan menunaikan zakat fitrah yang akan memperkuat hubungan kita dengan sesama manusia.



Dalam Islam, salah satu media yang membahas hubungan dengan Allah adalah shalat. Jika kita melakukan refleksi, akan bisa memahami bahwa ketika memulai salat kita awali dengan bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh khusyuk sesungguhnya salatku, ibadahku, kehidupan, dan matiku, kupersembahkan hanya untuk Allah Rabbul 'Alamin.


Dan, ketika mengakhiri shalat, kita secara sadar menyatakan komitmen perdamaian dengan mengucap salam, dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini perlambang bahwa shalat akan berimplikasi terciptanya kedamaian. Langkah dahsyatnya jika kita melaksanakan salat berjamaah, tentu sekat-sekat primordial, sekat-sekat partai politik, sekat-sekat ormas keagamaan, dan berbagai hambatan psikologis lainnya akan luntur disinari dengan pernyataan kita: “sesungguhnya salatku, ibadahku, seumur hidup, dan matiku semua kupersembahkan hanya untuk Allah Rabbul 'Alamin”.

Dan, ketika mengakhiri shalat, kita secara sadar menyatakan komitmen perdamaian dengan mengucap salam, dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini perlambang bahwa shalat akan berimplikasi terciptanya kedamaian. Langkah dahsyatnya jika kita melaksanakan salat berjamaah, tentu sekat-sekat primordial, sekat-sekat partai politik, sekat-sekat ormas keagamaan, dan berbagai hambatan psikologis lainnya akan luntur disinari dengan pernyataan kita: “sesungguhnya salatku, ibadahku, seumur hidup, dan matiku semua kupersembahkan hanya untuk Allah Rabbul 'Alamin”.

Dalam hadis banyak dikemukakan, bahwa Allah SWT senantiasa menunggu hamba-Nya yang mau berkomunikasi dengan-Nya. maaf Pintu-Nya selalu terbuka, mengingat Allah SWT adalah Maha Mendengar, Maha Penerima Taubat dan pemberi kedamaian. Ketika hati seorang mukmin telah memenuhi rasa cinta dan rindu pada-Nya, maka panggilan salat merupakan panggilan yang sangat indah dan menggairahkan, laiknya anak muda yang jatuh cinta selalu ingin berjumpa kekasihnya, atau seorang ibu yang ingin bersua anak-anaknya yang berada jauh darinya . Dalam konteks inilah menjadi sangat mudah dipahami mengapa Rasulullah SAW menegakkan agar seorang muslim hendaknya shalat di awal waktu, tidak menunda shalat, memaksakanlah memenuhi panggilan Allah SWT.

Betapa sejuk dan ceria ketika menjalani shalat. Semua kegiatan ditinggalkan karena tidak ada yang lebih menarik selain menghadap Allah SWT. Jika kita salat dan merasakan perasaan rindu dan cinta pada Allah, maka kita akan betah berlama-lama, merasakan aliran energi cinta dan damai dari-Nya. Kalau ini menjadi kebiasaan dan kualitas salat kita, maka ketika kita mengakhiri salat dengan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri, kita akan melanjutkannya dengan menebar salam perdamaian pada siapa pun yang dekat dengan kita, baik di lingkungan keluarga, teman kantor maupun pergaulan sehari- hari.

Singkatnya, mereka yang shalat istiqamah seharusnya juga mereka yang senang menebar rasa damai bagi lingkungannya.

Secara empiris, tidak sedikit komunikasi dengan sesama yang akhirnya hanya menorehkan noda, luka, dan petaka. Jika berkomunikasi dengan sesuatu di luar dirinya saja sulit, maka akan lebih sulit lagi berkomunikasi dengan diri sendiri, jika melihat tengkuk sendiri, “begitu dekat, tetapi begitu jauh untuk dilihat dan ditelisik”. Akibatnya, wilayah untuk melakukan tujuanikasi kepada objek komunikasi, yaitu diri sendiri, menjadi sangat sempit. Bukan tidak mungkin, ketika terjadi gejolak dalam diri sendiri, ada kecenderungan untuk melemparkan kesalahan kepada orang lain. Maka, ada pepatah “bila ingin tahu tentang pribadi seseorang yang sebenarnya, tanyakanlah kepada kawannya”. Ini menunjukkan sulitnya seseorang untuk mendeskripsikan dirinya sendiri secara objektif. 

 Mengenal diri sendiri sangat penting untuk membangun hubungan dengan manusia dan Allah SWT. Salah satu bentuk mengenali diri sendiri adalah mengenal apa yang menjadi kelebihan dan kekurangannya. Ibarat rumah, sebelum menata isinya dan menaruh pernak-pernik, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengenai kelebihan dan kekurangan serta keterbatasan tata ruang atau desain interiornya. Jangan sampai membeli kursi ukuran jumbo dan berbentuk L, padahal ruang tamu yang tersedia ukurannya kecil dan bulat. Jika batas dan kekurangan rumahnya terletak pada ruangan tamu yang sempit, tidak boleh diisi dengan barang berukuran jumbo. Mungkin barang itu bisa masuk, tapi tidak serasi, tidak nyaman dilihat dan ditempati. Padahal ruang sempit lagi kecil juga akan tetap nyaman dan indah bila ditata sesuai dengan kondisi yang ada.

Dengan mengenali dan menerima keterbatasan ruang yang kita punya, tidak perlu ada pikiran, ucapan dan sikap yang menuduh si pembuat kursi jumlah yang tidak tahu diri, salah atau bodoh. Saat tuduhan dilontarkan, satu jari kita menunjuk ke cerminan orang lain, tanpa disadari bahwa keempat jari lainnya menunjuk ke diri kita sendiri.

Akhirnya, sebagai pamungkas, kita perlu melakukan refleksi untuk meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah SWT, sesama dan diri sendiri. Kita bisa mengambil 'ibrah tentang shalat: ketika memulai shalat kita bertakbir Allahu Akbar dan menyatakan dengan penuh khusyuk, sesungguhnya shalatku, ibadahku, kehidupan, dan matiku, kupersembahkan untuk Allah Rabbul 'Alamin. Dan, ketika kita mengakhiri salat, kita menyatakan komitmen kedamaian dengan mengucapkan salam dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Ini menjelaskan bahwa shalat kita berimplikasi terhadap terciptanya kedamaian bagi sesama, apa pun partainya, apa pun ormasnya, dan apa pun hambatan psikologisnya. Bukankah begitu?. Wallahu a'lam. 

Dinul Islam membimbing manusia untuk tegak menjadi seorang pribadi. Setiap individu memiliki kewajiban dan hak masing-masing langsung dengan Allah. Setiap manusia berhubungan langsung dengan Khaliknya tanpa perlu perantara. Hubungan manusia (makhluk) dengan Allah (Khalik) adalah hubungan vertikal langsung tidak memerlukan perantara. Setiap orang, tidak dibatasi ruang dan waktu, bisa “menghadap” Allah. Untuk menghubungi Allah secara langsung, Dinul Islam telah menetapkan bentuk hubungan tanpa-penghalang dengan Allah swt dalam bentuk doa. Shalat adalah salah satu perilaku berdoa kepada Allah sebagai salah satu bagian ibadah mahdhah. Berdo'a dalam bentuk yang lain adalah permohonan langsung kepada Allah dengan ucapan permohonan (dicontohkan oleh Nabi) atau pun ucapan lain sesuai  dengan bahasa dan kebutuhan manusia Kehidupan umat muslim harus dipenuhi oleh doa-doa. Sejalan dengan pernyataanhadits Nabi bahwa “addu'aa mukhkhul ibadat”, doa itu adalah saripatinya ibadat. PadaKenyataannya segala sisi kehidupan umat Islam tidak akan pernah lepas dari dzikir kepada Allah, mengingat Allah, melalui doa pada setiap awal pekerjaan. Tak ada yang
Kosong dari doa, semua jenis pekerjaan baik dicontohkan oleh Nabi saw lengkap dengan doanya. Tanpa alasan apapun, hubungan vertikalmakhluk-Khalik terhalang oleh waktu, kesibukan, dan sejenisnya. Siapapun manusia muslim, tanpa batasan profesi, status sosial, ruang, maupun waktu, bisa berhubungan langsung dengan Khaliknya tak terbatas. Semua kesempatan berisi tuntunan dzikir, yang bisa mengantarkan manusia selalu menyadari adanya Yang Mahaada, yang selalu mengawasi, selalu memelihara, selalu online, dan menjadi tujuan semua permohonan serta pengaduan. Tidak ada tempat yang penting sebagai tempat berteduh jeda semua usaha, kecuali mengingat Allah swt melalui doa dan doa.

Konsep ibadah dalam agama Islam bukan sekedar menjalankan ibadah mahdhah.Ibadat mahdhah adalah ibadah utama yang harus dilakukan terkait dengan banyak hal aturan tentang waktu, jumlah, maupun ruang kegiatan (lihat penjelasan sebelumnya). Jika ibadat mahdhah telah terselesaikan, ada ibadat lain (ibadat ghair mahdhah) yang harus melengkapinya. Ibadat shalat wajib harus digandengkan dengan shalat sunnah. Agar shalat wajib menjadi lokomotif (periksa bahasan sebelumnya), maka shalat wajib harus dilengkapi dengan shalat sunnah. Shalat wajib yang --pada kenyataannya--mungkin tidak bisa dilaksanakan secara sempurna, bisa “disempurnakan” dengan melaksanakan shalat-salat sunah sebagai “penambal” kekurangan dalam shalat yang utama. Banyak shalat sunnah yang menyertai pelaksanaan shalat wajib. Ada shalat sunnat rawatib yang Ditempatkan pada waktu sebelum (qabliyah) atau sesudahnya (ba'diyah) shalat wajib. Dalam sejumlah keterangan para ulama, shalat sunnat rawatib ini bisa dikategorikan sebagai aktivitas matahari yang sangat penting, bahkan mendekati wajib untuk dilaksanakan. Begitupun shalat sunah lainnya yang bukan rawatib, seperti shalat sunnah tahajjud, shalat dhuha, shalat tahiyyatul masjid, dan sejumlah shalatsunnah yang kerap dilaksanakan oleh Rasulullah. Khusus tentang istilah sunnah (sunnah), ada yang mendefinisikannya dengan “bila dikerjakan akan mendapatkan pahala, jika tidak dikerjakan tidak mendapatkan pahala”. Pengertian ini adalah pengertian yang keliru. Istilah sunnah terkait erat dengan perilaku Nabiyullah Muhammad saw, segala sesuatu yang biasa dilakukan (sekaligus menjaditeladan) Rasulullah. Bukankah ada dua hal yang menjadi warisan dari Rasulullah untuk ummatnya, yaitu Al-Quran dan sunnaturrasul? Jika melihat tentang hal sunnah seperti tadi, “jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tak akan ada efek apa-apa”, berarti begitu banyak orang yang telah meninggalkan sunnaturrasul, karena hanya merasa harus mengerjakan yang wajib semata. Untuk diakui ummat Rasulullah Muhammad saw, berarti di anataranya harus memenuhi apa yang pernah diteladankan Rasululah. Dan, ketika seseorang hanya memenuhi hal-hal yang wajib semata, dapatan yang akan diterima hana sekedar memenuhi persyaratan kewajiban jika kewajiban itu dilaksanakan secara sempurna). Padahal, tidak akan ada sesuatu pekerjaan manusia yang bisa dilakukan secara sempurna. Oleh karena itu, itu sunnatlah (ibadat sunnat) yang menambal kekurangsempurnaan pekerjaan (ibadat) yang wajib!
Ibadat shaum dilengkapi dengan ibada shaum sunnah yang menyertainya. Misal, shaum sunnah Senin-Kamis, shaum sunnat ayyaamul bidh (tiga hari setiap pertengahan bulan), shaum sunnah Nabi Daud (dilaksanakan selang sehari), dan shaum sunnah lainnya. Zakat yang wajib dilengkapi dengan zakat yang sunnah (periksa kembali bahasan tentang zakat, shadaqah, dan infaq), bahkan ada zakat yang wajib aini (kewajiban masing-masing pribadi, dengan persyaratan-persyaratan kondisi tertentu) yaitu zakat fitrah. Ibadat haji juga demikian. Haji yang wajib (sekali seumur hidup) didampingi dengan kegiatan yang hampir sama dengannya yaitu umroh.

 Dalam konsep Islam, semua kegiatan manusia muslim/muslimat dapat dihargai sebagai bentuk ibadah. Dalam salah satu hadits, Nabi menyatakan bahwa “kullu 'amalin layubdau fiihi bibismillaahirrahmaanirrahiim, fahuwa aqtha”, setiap amal yang tidadidahului dengan bacaan bismillaahirrahmaanirrahiim, maka terputuslah pahalanya. Artinya, semua pekerjaan, apapun bentuknya yang sesuai dengan syariat, jika ingin terima kasih di sisi Allah swt, harus diawali dengan membaca kalimat pernyataan yang mengagungkan nama Allah, yaitu basmalah. Ibadat fardhu yang dilaksanakan tanpa diawali membaca basamalah, terputus nilai amalnya. Sebaliknya, amal lainnya terkategori pekerjaan biasa sehari-hari, asal tidak bertentangan dengan syari'at, jika diawali dengan bacaan basmalah, maka nilai di sisi Allah setara dengan pekerjaan ibadah. Atau, dengan kata lain, semua amal shalih (misal membuang duri dari jalan, berangkat ke kampus untuk kuliah, menyelamatkan binatang yang terjepit, dan pekerjaan lain yang dianggap sebagai pekerjaan biasa) bisa bernilai ibadah jika lengkap dengan basmalah di awal pekerjaan. Sementara itu, ibadah apapun dalam tataran ibadah syar'i, yang tidak dilengkapi bacaan basmalah, tidak ada nilai pahala di sisi Allah swt.

   تُسَبِّحُ لَهُ السَّمٰوٰتُ السَّبْعُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ وَاِنْ مِّنْ شَيْءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهٖ وَلٰكِنْ لَّا تَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْۗ اِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا

Artinya : Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah. Tidak ada sesuatu pun, kecuali senantiasa bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. (QS.Al-Isra/17:44


Artinya : Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS.Ar-Rum : 30)

5.2 Ibadat Ghair Mahdhah

Kita mungkin mengenal ibadah dalam bentuk sholat, tadarus, puasa, zakat, dan haji. Tidak salah, tapi jenis-jenis ibadah juga tidak hanya sebatas yang disebutkan tadi. Karena ibadah, memiliki cakupan yang sangat luas. secara garis besar ulama membagi ibadah menjadi dua kelompok, yaitu ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Ya, meski sama-sama ibadah, namun baik ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah memiliki perbedaan masing-masing.

Menurut bahasa, mahdhah memiliki arti 'murni' atau 'tak bercampur'. Sedangkan ghairu mahdhah memiliki arti 'tidak murni' atau 'bercampur dengan yang lain'.

Ibadah mahdhah adalah ibadah yang selama ini kita kenal, antara lain seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Bahkan banyak kaum muslimin yang beranggapan bahwa ibadah mereka adalah ibadah yang masuk ke dalam kelompok ibadah mahdhah.

Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah SWT, yang dalam pelaksanaannya dilandaskan dengan niat untuk mencari ridha dan pahala dari Allah SWT. Dan jika tidak berdasarkan niat karena Allah SWT, maka amalannya tetap sah, hanya saja tidak ada nilai pahala dalam pengerjaannya.

Oleh karena itu, ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah juga dikenal dengan sebutan ad-diin (urusan agama) untuk ibadah mahdhah, dan ad-dunya (urusan duniawi) sebagai sebutan ibadah ghairu mahdhah.

Ciri-ciri Ibadah Mahdhah dan Ghairu Mahdhah

Ibadah Mahdhah

Ibadah mahdha adalah ibadah yang murni ibadah. Ibadah mahdhah memiliki tiga ciri, yaitu:

Ibadah mahdhah adalah amal dan ucapan yang merupakan jenis ibadah di mana penetapannya berasal dari dalil syariat. Jadi, semua perkataan atau ucapan dalam ibadah mahdhah tidaklah bernilai kecuali ibadah. Dengan kata lain, tidak bisa bernilai netral (bisa jadi ibadah atau bukan ibadah). Ibadah mahdhah juga memiliki dalil-dalil yang menunjukkan adanya larangan yang ditujukan kepada selain AllahSWT, karena hal itu termasuk dalam kemusyrikan.
Ibadah mahdhah ditampilkan dengan maksud pokok orang yang mengerjakannya, yaitu dalam rangka meraih pahala di akhirat.
Ibadah mahdhah hanya bisa diketahui melalui jalan wahyu, dan tidak ada jalan lainnya, sekali pun melalui akal atau budaya.
Contoh sederhana dari ibadah mahdhah adalah doa yang biasa kita kerjakan. Sholat termasuk ke dalam ibadah mahdhah karena memang ada perintah atau dalil khusus tentan pelaksanaan ibadah ini. Oleh karena itu, shalat memang sejak awal adalah aktivitas yang diperintahkan. Orang-orang yang mengerjakan sholat pun berharap dapat mendapat balasan berupa pahala. Pelaksanaan sholat juga tidak bisa asal, karena sudah diatur melalui wahyu. Berapa kali pengerjaan sholat, kapan saja waktunya, berapa raka'at, bagaimana gerakan dan bacaannya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan sholat, hanya bisa diketahui melalui penjelasan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan bukan berasal dari pikiran seseorang atau budaya.

Ibadah Ghairu Mahdhah

Jika ibadah mahdhah adalah ibadah murni, maka ibadah ghairu mahdhah sebaliknya, adalah ibadah yang tidak murni. Ciri pada ibadah ghairu mahdhah juga berkebalikan dari ibadah mahdhah, di mana cirinya adalah:

Perkataan atau perbuatan dalam ibadah ghairu mahdhah sebenarnya bukanlah ibadah. Akan tetapi, statusnya dapat diubah menjadi ibadah jika melihat dan menimbang niat orang yang melaksanakannya.
Maksud pokok perbuatan tersebut adalah untuk memenuhi urusan atau kebutuhan yang bersifat duniawi, bukan untuk mencapai pahala di akhirat.
Amal perbuatan yang diketahui tersebut tidak dapat diketahui dan bahkan sudah meskipun tidak ada wahyu dari para rasul.

Contoh sederhana dari ibadah ghairu mahdhah adalah ketika kita makan. Seperti yang kita tahu, makan bukanlah ibadah khusus, dan bahkan menjadi kebutuhan kita sehari-hari.

Kita bisa makan kapan saja, baik ketika lapar atau pun tidak. Apa yang dimakan pun bisa makanan apa saja, kecuali yang sudah diharamkan.

Namun, aktivitas makan kita bisa menjadi sebuah ibadah yang bahkan dinilai berpahala jika kita meniatkannya dengan sesuatu yang baik. Misalnya, kita berniat makan agar kuat dalam menjalankan ibadah wajib seperti sholat atau berjalan ke masjid.

Makan juga dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pokok kita. Dalam pengerjaannya pun, kita tidak membutuhkan wahyu untuk makan, karena tanpa wahyu pun kita sudah mengetahui pentingnya makan dan memang membutuhkan makan.

(Pola Hubungan Horisontal Antarmanusia)

Sebagian besar ibadah ghair mahdhah sangat erat dengan kondisi lingkungan. Olehkarena itu, Nabi Muhammad bersabda: “Antum a'lamu bi'umuuri dunyaakum”(“Engkau lebih tahu tentang urusan keduniaanmu”). Sejumlah bentuk ibadah ghair mahdhah memang telah diatur sedemikian rupa dalam bentuk teladan Nabi. Sebagian yang lain, sesuai dengan hadits Nabi tadi, diserahkan penafsiran bentuk kegiatannyakepada setiap muslim sesuai kebutuhan lingkungan masing-masing. Hadits tadi terkait dengan peristiwa dialog antara Nabi dengan ahli menanam pohon kurma. Nabi yakin dengan pendapatnya bahwa buah kurma tidak memerlukan perlakuan khusus agar hasilnya bagus, sementara itu ahli menanam kurma tetap juga dengan keyakinan dan hasil pengalamannya bahwa buah kurma yang bagus harus melalui proses bantuan penyerbukan oleh manusia. Ketika bukti hasil dialog itu menunjukkan bahwa hasil buah kurma yang baik seperti yang dikemukakan oleh ahli menanam kurma, maka Nabi menyatakan “Engkau lebih tahu tentang segala urusan keduaniaanmu! Hukum dasar semua ibadah ghair mahdhah telah diatur dalam Al-Quran. Sebagi contoh, hukum ekonomi secara mendasar telah dimaktub dalam Al-Quran, tetapi bentuk pelaksanaannya bisa disejalankan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan perlawanan lingkungan. Sistem perbankan pada awal masa Islam belum dikenal. Kini, searah dengan percepatan pengelolaan uang yang sejalan dengan kebutuhan zaman, sistem tersebut telah diadopsi dan disejalankan dengan konsep Dinul Islam, seperti yang terjadi di Bank Mu'amalat di Indonesia. Selama sistem tersebut tidak bertentangan dengan konsep dasar Dinul Islam, penyelarasan, Penyesuaian, atau pun modifikasi berdasarkan hasil ijtihad para fuqoha, bisa dilakukan.

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ

Artinya: "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)." (QS. Al Bayyinah: 5)

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ جَاۤءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللّٰهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوا اللّٰهَ تَوَّابًا رَّحِيْمًا

Artinya: "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang." (QS An-Nisa 64).

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

Artinya: "Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR Bukhari).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُحِلُّوا۟ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ وَلَا ٱلشَّهْرَ ٱلْحَرَامَ وَلَا ٱلْهَدْىَ وَلَا ٱلْقَلَٰٓئِدَ وَلَآ ءَآمِّينَ ٱلْبَيْتَ ٱلْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَٰنًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَٱصْطَادُوا۟ ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا۟ ۘ وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya

5.3 Hablun Min-Annaas

Konsep Islam adalah konsep yang mengacu pada keseduniaan murni, karena diatur oleh yang Mahapengatur, Tuhan pencipta seluruh isi alam. Sifat Rahman dan Rahim Allah telah tetap berlaku untuk semua manusia sesuai dengan keseimbangan porsinya. Sunnatullah adalah bentuk keseduniaan murni yang telah ditetapkan oleh Allah sebagai bentuk membatasi kondisi dasar kehidupan.

Dalam kitab suci al-Quran, ditekankan agar setiap muslim membina hubungan baik dengan semua manusia. Isyarat Quran itu disebut dalam teks dengan kalimat hablum ni al-nas bukan hablum min al-mukminin.  Allah memerintahkan manusia untuk selalu membangun hubungan yang baik dengan Allah dan dengan seluruh umat manusia. Penggunaan kata 'semua manusia' menunjukkan al-Quran menginginkan siapa saja manusia itu, apapun latar belakang agama, suku, ras, dan bangsa. Tidak berhubungan dengan sesama muslim saja atau sesama mukmin saja.

Bulan ramadhan kita telah berpuasa dengan penuh keyakian dan keikhlasan,  sehingga semakin jelas kita merasakan bahwa puasa telah mempengaruhi  pola pikir, sikap dan perilaku kita. Bukan hanya dalam ranah kehidupan pribadi, tetapi sekaligus ranah publik. Bahkan telah menyentuh seluruh sisi kehidupan manusia, tak terkecuali perihal  hablun minallah dan hablun minannas. Tulisan berikut ingin  update salah satu hikmah puasa dalam memperkuat  hablun minallah  dan hablun minannas.

Memahami arti hablum minallah hablum minannas sangatlah penting bagi umat muslim dalam kehidupan sehari-hari. Kata tersebut saling berhubungan satu sama lain baik dalam kehidupan sosial maupun kepada Allah SWT. Hablum minallah hablum minannas merupakan tindakan yang bernilai ibadah dan menjadi misi kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, menyeimbangkan hablum minallah hablum minannas dalam kehidupan seharu-hari sangatlah penting.
Supaya dapat seimbang, hablum minallah hablum minannas harus diamalkan secara rutin. Padahal, pada hakikatnya, hablum minallah hablum minannas mempunyai tujuan vertikal yakni mendapatkan ridho Allah SWT.

Arti habblum minallah adalah konsep bagaimana manusia berhubungan dengan sang maha pencipta Allah SWT dengan mengikuti segala perintahnya dan menghindari laranganNya. Sedangkan hablum minannas adalah konsep di mana individu manusia menjaga hubungan baik dengan individu atau kelompok manusia lainnya.

Secara sederhana, arti habblum minallah adalah hubungan yang baik kepada Allah SWT. Hubungan baik tersebut dapat dilakukan dengan ubudiyah atau ibadah. Hidup manusia di dunia pada hakikatnya adalah hanya untuk beribadah kepada Allah SWT. Allah berfirman,

                                          وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Qs. Ad-Dzuriat : 56).

Sedangkan arti hablum minannas adalah hubungan yang baik dengan manusia atau sesama individu. Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk sosial.


وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

Artinya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,” (QS As-Nisa’: 36)

Hablun min-annaas banyak jenisnya. Di antaranya: munakahat (pernikahan), jinayat (hukum pembunuhan), hudud (hukuman), jihad (perjuangan), dan masih banyak lagi. Semua jenis perilaku mu'amalat tersebut sebagian diatur secara ketat dalam Dinul Islam, sebagian lagi, seperti disebutkan terdahulu, Rasul menyerahkan pemutusannya kepada ummat pada setiap generasi. Masalah horizontal antarmanusia ini, mengandung pengertian manusia tanpa pilah-pilih. Allah tidak menetapkan secara gamblang spesifikasi manusia yang “pantas”menjadi mitra dalam kegiatan masyarakat yang umum. Seperti ketika Allah melalui Nabi-Nya, menunjukkan bahwa “keimanan seseorang itu terkait dengan urusan tetangga”, tetangga dalam hadits Nabi tersebut tidak mengacu kepada tetangga spesifik yang muslim saja. Artinya, ketika hubungan antara manusia harus dilakukan, di situ mengacu kepada manusia secara umum, manusia bangsa mana saja, beragama apa saja, kelas sosial yang mana saja. Inilah universalisme murni yang dibangun dalam konsep ajaran agama Islam. Kecuali dalam hal-hal tertentu yang menyangkut urusan keagamaan yang khusus, ada kepentingan tertentu yang terkait dengan kondisi manusia khusus, manusia seagama. Keterbukaan ibadah mu'amalat yang terkait dengan kata 'dunyaakum' bisa menjadi daya tarik tampilan manusia muslim di manapun tempat mereka tinggal. Tak akan ada permasalahan berat terkait dengan interaksi sosial yang bisa dibangun oleh seorang muslim yang etul-betul mengamalkan konsep aturan Dinul Islam. Sayangnya, misalnya dijelaskan di muka, Allah swt tidak mengabulkan satu permintaan Nabi --di antara dua permintaan yang tidak dikabulkan oleh Allah swt-- yaitu adanya sejumlah perbedaan yang muncul pada ummat Nabi Muhammad saw. Firqah-firqah yang dibangun dilingkungan umat Islam, masing-masing merasa berbeda. Padahal, Islam adalah satu konsep universal yang memungkinkan semua penganutnya berada dalam satu ikatan persaudaraan dan kesepahaman dasar dalam pikiran dan perilaku. Tetapi itulah kehendak Allah swt, ketentuan yang sangat banyak berkaitan dengan hikmah yangterhampar di balik kondisi tersebut.


Artinya: "Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas." (Q.S. Ali 'Imran: 122).

5.4 Bisnis Islami

Allah bermaksud manusia untuk menjual beli yang Islami dengan Allah saja. Dalam Al-Quran Allah telah menantang manusia dengan berbagai perumamaan “pelipatgandaan” aneka kebaikan bila semua kebaikan itu hanya ditujukan untuk mendapat keridhoan Allah semata. Jika manusia berbisnis dengan manusia semata, bisnis itu akan menghadapi berbagai kerugian. Modal bisnis sangat dipengaruhi oleh mengumumkan harga dan pasar. Tetapi, bisnis dengan Allah, jaminan Allah adalah keuntungn yang terus-menerus.

Allah telah membeli jiwa dengan jaminan Surga. Allah juga telah menyediakan pelipatan kebaikan dengan satu, dua, tiga, tujuh, tujuhpuluh, bahkan tujuh ratus kali lipat kebaikan lainnya jika ummat berbisnis saja mencari keridhoan Allah semata. Bisnis yang Islami tidak dikotori riba dan bohong. Semua perilaku bisnis itu didasari kejujuran, kemaslahatan orang banyak, dan keadilan sikap. Dan, berbisnis dengan Allah tentu tidak akan menimbulkan rasketidakadilan, ketidakjujuran,dokumenter, dan sejumlh keburukan bisnis yang kerap dibangun antarmanusia!

Manusia bisa berbisnis dengan Allah melalui semua bentuk aktivitas kemanusian. Semua kegiatan yang baik, di luar ibada mahdhah, bisa menjadi ladang ibadat, ladang pahala bagi umat Islam, karena pada semua kegiatan itu telah disediakan niat dan doa (sebagai SoP kegiatan) yang diajarkan oleh Nabiyullah Muhammad saw. Seseorang yang berangkat ke kampus dengan niat melaksanakan kewajiban mencari ilmu karena Allah; seseorang yang berangkat ke pasar dengan niat melaksanakan kewajiban mencari nafkah karena Allah; seseorang yang berangkat ke kantor dengan niat melaksanakan kewajiban sebagai bukti ikrar kerja karena Allah, bisa menjadi “bernilai  ibadah”.  Disebutkan dalam salah satu hadits Nabi yang populer ada kalimat yang menyatakan “afdhaluhaa laa ilaaha illa-Allah, waadnaahaa imaazhatul adaa 'aniththaariq”. Kalimat tersebut terkait dengan jabaran kategorisasi dan tingkatan ibadah yang akan diperhitungkan oleh Allah lengkap dengan pahalaNya. Yang paling afdhal adalah membaca kalimat laa ilaaha illa-Allah (ini inti ikrar syahadat) dan yang paling sederhana, bahkan kerap dianggap sebagai pekerjaan “tidak berguna”, adalah membuang sampah, membuang onak dari jalan. Artinya, semua jenis kegiatan manusia  dari hal yang paling berat (menyatakan syahadat) hingga pekerjaan biasa-biasa saja, yang mudah dilakukan tanpa “tenaga” besar, dalam perhitungan Allah adalah sama. Semua pekerjaan manusia muslim, terutama yang didahului dengan bacaan basmalah, akan menjadi catatan ibadah yang bernilai pahala. Manusia-manusia muslim pada dasarnya bisa secara terus menerus berkumpul perbekalan untuk menunju Kampung Akhirat melalui ibadat-ibadat ghair mahdhah. 
Yang perlu diingat, ketika seseorang mengerjakan ibadah mahdhah, berarti seseorang melakuka“kewajiban asasi” seorang hamba Allah. Jika kewajiban asasi itu Tarunika , lepaslah tuntutan pelaksanaan kewajiban dasar sebagai manusia. Tetapi, tentu saja, masih belum memiliki “bekal lebih” untuk melengkapi kewajiban dasar secara tunai itu. Bagaimanakah perhitungan amal kewajiban dasar itu jika tidak tunai secara sempurna? Nabiyullah Muhammad saw mengajarkan umat muslim, pekerjaan-pekerjaan sunnah, ibadah ghair mahdhah yang dilengkapi dengan niat baik (minimal membaca basmalah) hasilnya tidak akan terputus, 'nyambung' dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, dan menjadi penyempurna ibadah mahdhah yang 'bolong-bolong', yang pelaksanaannya kurang sempurna. Ibadat sunnat adalah 'lapisan email' yang akan melindungi dan menyempurnakan bangunan ibadah mahdhah yang telah dilakukan, terutama yang kurang sempurna! Betapa Allah telah menyiapkan semua jalan untuk permasalahan manusia. Allah telah Menyiapkan banyak tempat dan jalan pahala untuk manusia yang mau memanfaatkannya. Tak akan ada sedikit kerugianpun jika manusia mau berbisnis, Menjual amalan baik, hanya kepada Allah, hanya untuk Allah, hanya berdasarkan tuntunan Allah. Bank amal bisa terus diisi sebagai bekal hidup sebenarnya, hidup yang “kekal” di Kampung Akhirat nanti.



DAFTAR PUSTAKA

https://radarjember.jawapos.com/perspektif-halim/791095020/hablun-minall%C3%A1h-hablun-minann%C3%A1s?page=2

https://www.merdeka.com/jabar/mengenal-ibadah-mahdhah-dan-ghairu-mahdhah-ini-perbedaan-keduanya-kln.html

https://s3ppi.umy.ac.id/quran-perintahkan-hablum-min-an-nas-bukan-hablum-min-al-mukminin/

Faisal Faliyandra, Konsep Kecerdasan Sosial Goleman Dalam Perspeltif Islam (2019)

https://www.liputan6.com/hot/read/5295556/memahami-arti-hablum-minallah-hablum-minannas-dalam-kehidupan-sehari-hari?page=3





UAS AGAMA ISLAM ROMBEL 44