Jumat, 22 Maret 2024

BAB II MANUSIA SEBAGAI MAHLUK ALLAH

Nama : Baiq Ziadatul Afni Azkiya 
NIM :2315011007 
Fakultas : Teknik dan Kejuruan 
 
 PENDAHULUAN
 
 2.1 Kemegahan Alam Ciptaan Allah SWT 
 Manusia, sebagai penghuni Bumi, sangat banyak jumlahnya. Manusia sengaja diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang unik. Tidak ada dua diri yang sama. Sekalipun saudara kembar siam, masing-masing individunya sengaja diberi keunikan diri. Allah juga menciptakan manusia dalam keadaan berbeda warna kulit, warna rambut, warna bola mata, bahasa, dan ciri-ciri fisik lainnya. Allah yang menciptakan manusia dari (saripati) tanah, Bumi, yang kemudian menjadikan manusia menjadi pemakmur sumber-asal hidupnya. Banyak ayat lain yang menjelaskan tentang hal itu dalam berbagai bentuk pernyataan. Salah satu lanjutan tentang penjelasan itu menyangkut keberlangsungan hidup manusia, setelah diciptakan kemudian dijadikan pasangan-pasangannya agar bisa berketurunan dan menjadi pemakmur Bumi. 
Allah memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi keberadaan langit, bumi, gunung, bintang, tumbuhan, binatang, pergantian siang dan malam, penciptaan manusia, hujan, dan ciptaan-ciptaan-Nya yang lain. Dengan begitu, manusia akan menyadari keindahan ciptaan-ciptaan Allah di sekitarnya dan pada akhirnya mengenali Allah sebagai Zat yang menciptakan alam semesta beserta seluruh isinya.
Sementara, "sains" memberikan jalan untuk dapat mengkaji alam semesta dan seluruh isinya ini agar menemukan keindahan dan memahami ciptaan-ciptaan-Nya. Karenanya, agama mendorong sains, menjadikannya sarana untuk mempelajari seluk-beluk ciptaan-ciptaan Allah.
Agama tidak hanya mendorong dilakukannya riset-riset tentang sains, tetapi juga mengarahkannya dengan didukung oleh fakta-fakta yang terdapat di dalam Al-Quran agar hasilnya meyakinkan dan tepat guna. Sebab, agama merupakan sumber satu-satunya yang bisa menyediakan jawaban yang jelas dan akurat tentang bagaimana kehidupan dan alam semesta berawal.
Ada sebuah fakta yang sangat penting untuk diperhatikan: sains hanya akan mampu menghasilkan penemuan yang terpercaya jika sains mengambil penyelidikan tanda-tanda adanya penciptaan atas alam semesta sebagai tujuan utama, dan tetap konsisten pada tujuan utamanya tersebut. Sains akan dapat mencapai tujuan utamanya tersebut dalam waktu singkat hanya jika ia ditunjukkan kepada arah yang benar, yaitu hanya jika ia dibimbing dengan benar.
Berikut ini adalah ayat Al-Qur'an yang menggambarkan kekuasaan dan kebesaran Allah: Q.S Al-Naml/27;93.

Dengan cara perenungan yang diajarkan dalam al-Qur'an, seseorang yang beriman kepada Allah akan dapat lebih baik merasakan kesempurnaan, hikmah abadi, ilmu, dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Allah menyediakan segala keperluan penciptaan manusia dengan segala perangkat hidupnya. Bahkan, Allah juga telah menetapkan bahwa manusia adalah mahluk yang dilebihkan keberadaannya dibanding mahluk Allah lainnya. Allah menyediakan alam sebagai lahan hidup manusia dengan beragam persiapan rezeki yang mencukupi segala kebutuhan manusia. Juga, Allah telah menjadikan alam sebagai sarana yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan mobilisasi manusia di daratan maupun di lautan. Dan, Allah pun telah menjamin ketenteraman hidup manusia melalui sistem keluarga yang dilengkapi dengan rasa kasih-sayang.

Sifat-sifat Allah sebagai Khalik (Yang Maha Pencipta) dapat dilihat melalui berbagai contoh yang ada di alam semesta. Berikut beberapa contoh sifat-sifat Allah sebagai Khalik: 

1. Penciptaan yang mengadakan sesuatu: Allah memiliki kekuasaan untuk menciptakan sesuatu dari tiada kepada ada. Contohnya, penciptaan ikan buntal, yang memiliki struktur yang unik dan tidak dapat dicapai oleh manusia. 

2. Membentuk rupa makhluk-makhluk-Nya menurut yang dikehendaki-Nya: Allah memiliki kekuasaan untuk membentuk rupa makhluk-makhluk-Nya sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Contohnya, bentuk muka bumi yang berbeza-beza antara satu tempat dengan tempat lain, yang mempengaruhi beberapa aktiviti kehidupan manusia. 

3. Memiliki nama-nama yang sebaik-baiknya dan semulia-mulianya: Allah memiliki kekuasaan untuk memberikan nama-nama yang sebaik-baiknya dan semulia-mulianya kepada makhluk-makhluk-Nya. Contohnya, nama-nama yang dijelaskan dalam Al-Qur'an, seperti "Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan". 

4. Memiliki mutlak kegagahan: Allah memiliki kegagahan yang mutlak, yang tidak ada satu hal pun terjadi di dalam kekuasaan-Nya kecuali atas seizin-Nya. Contohnya, kekuasaan Allah dalam mengembalikan sesuatu ke kehidupannya, yang benar dan baik kembali normal, berubah lebih baik, memberikan manfaat paling tinggi.

5. Memiliki kekuasaan yang tidak dapat diperintahkan: Allah memiliki kekuasaan yang tidak dapat diperintahkan, yang dapat mengembalikan sesuatu ke kehidupannya, yang benar dan baik kembali normal, berubah lebih baik, memberikan manfaat paling tinggi, tinggi, di atas semua makhluk.

6. Memiliki kekuasaan yang tidak dapat diperintahkan: Allah memiliki kekuasaan yang tidak dapat diperintahkan, yang dapat mengembalikan yang apapun yang Dia perintahkan kepada makhluk-makhluk-Nya.

7. Memiliki kekuasaan yang tidak ada satu pun yang bisa memerintah-Nya: Allah memiliki kekuasaan yang tidak ada satu pun yang bisa memerintah-Nya.

8. Memiliki kekuasaan yang mengembalikan sesuatu ke kehidupannya: Allah memiliki kekuasaan yang mengembalikan sesuatu ke kehidupannya, yang benar dan baik kembali normal.

9. Memiliki kekuasaan yang mengembalikan yang apapun yang Dia perintahkan kepada makhluk-makhluk-Nya: Allah memiliki kekuasaan yang mengembalikan yang apapun yang Dia perintahkan kepada makhluk-makhluk-Nya.

10. Memiliki kekuasaan yang tidak dapat diperintahkan: Allah memiliki kekuasaan yang tidak dapat diperintahkan, yang dapat mengembalikan yang apapun yang Dia perintahkan kepada makhluk-makhluk-Nya. 

Semua sifat-sifat ini menunjukkan kekuasaan dan keagungan Allah sebagai Khalik, Yang Maha Pencipta. 

 2.2 Konsep Sunnatullah (Hukum Alam) 

Fleksibilitas hukum alam dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari dinamika perkembangan ilmu dan pengetahuan kealaman dengan penemuan yang senantiasa baru dan mutakhir; kedua, dari sisi perubahan yang terjadi pada sistem alam semesta itu sendiri seperti perubahan iklim radikal dan kemunculan spesies baru baik akibat proses mutasi atau proses alami lainnya. Para teolog Islam membahas alam semesta sebagai bagian dari ciptaan dan perbuatan Allah. Teologi Islam menguraikan tentang asal usul penciptaan dan keberadaan alam serta natur yang menyertainya. Dalam perkembangan pembahasan tentang hukum alam dan naturnya sebagian penulis teologi Islam di Indonesia menggunakan istilah baru yaitu kaata sunnatullah. Kata sunnatullah oleh Sebagian pemikir ini dianggap sebagai entitas yang similar dengan sistem yang berlaku di alam semesta.

Saya merasa bahwa istilah “hukum alam” tidak cukup jelas atau ambigu dalam konteks sunnatullah, karna dapat menimbulkan interpretasi yang salah atau tidak akurat.

Banyak karya akademis para penulis teologi Indonesia tentang hukum alam dan sunnatullah yang tersebar dan dijadikan buku rujukan standar di lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Di antara buku-buku tersebut adalah Teologi Islam karya Harun Nasution. Tulisan-tulisan tersebut sering merujuk kepada beberapa ayat Al-Qur’an yang menyebutkan sunnatullah secara implisit. Harun Nasution mengungkapkan, “kaum mu’tazillah percaya pada hukum alam atau sunnatullah yang mengatur perjalanan kosmos dan dengan demikian menganut faham determinisme.” Pendapat Harun Nasution ini mendapat penjelasan yang lebih rinci dalam tulisan lainnya.

Demikianlah Allah telah menetapkan sesuatu secara tertib. Masing-masing perangkat alam telah ditentukan manzilah, garis edarnya yang pasti, sehingga segala perhitungan dan ketetapan sangat jelas bisa dipastikan. Hitungan waktu (detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun, beserta hitungan yang ada di atasnya) terkait dengan semua keteraturan tadi. Itulah sunnatullah, bukan hukum milik alam, tetapi hukum Allah yang diterapkan di alam. Dan, Allahlah yang telah mengatur semuanya.

 2.3 Posisi Manusia Di Antara Mahluk Ciptaan Allah Swt 

Manusia hanyalah satu mahluk di antara mahluk-mahluk lain yang diciptakan oleh Allah swt. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia, di samping bergantung kepada manusia lain, juga sangat memerlukan keberadaan mahluk lain selain manusia. Semua ciptaan Allah disebut mahluk, sedangkan Allah sebagai pencipta disebut Khalik. Semua mahluk Allah harus mengikuti ketentuan (qadr) Allah tanpa bisa menawar, kecuali manusia. Manusia, berbeda dengan mahluk lain, diberi pilihan oleh Allah: jalan lurus (shiraathal mus-taqiim) dan memilih jalan lain (jalan bawaan Iblis, jalan sesat).

Manusia dan alam memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan, dimana manusia membutuhkan alam sebagai tempat mereka hidup. Namun saat ini kondisi alam semakin memprihatinkan, banyak kerusakan yang terjadi karena ulah manusia yang memiliki kecenderungan untuk menguasai alam yang sifatnya eksploitatif. Terjadinya kekeringan, tanah-tanah tandus, erosi tanah, hilangnya pohon pelindung, banjir, tanah longsor, pencemaran atmosfir, air, tanah, dan merosotnya kesuburan serta struktur tanah, degradasi tanah (penurunan kualitas tanah), perubahan iklim, semua itu semestinya menyadarkan kita bahwa alam atau lingkungan hidup di mana kita tinggal ini terancam kelestariannya. Semua ulah manusia yang hanya mengeksploitasi alam demi keuntungan (ekonomis) semata, tanpa mempedulikan kesehatan alam ciptaan dan kelestarian serta keberlangsungannya untuk jangka panjang di masa depan, akan berakibat negatif bahkan bisa fatal, yaitu merusak tatanan ekosistem. Alam menjadi tidak ramah dan bersahabat dengan manusia. Alam tidak menjadi tempat yang memberikan kenyamanan dan ketentraman untuk manusia menyelenggarakan hidup. Manusia lupa diri, bahwa mereka adalah mahluk yang diberi kepercayaan oleh Allah, untuk menjaga maupun merawat alam semesta ini. Artinya manusia seharusnya bertanggungjawab atas keberlangsungan yang ada di alam semesta ini. Kondisi alam yang baik tentunya akan mendukung segala aspek kehidupan manusia, sehingga menciptakan kedamaian, dan kenyamanan bagi seluruh mahluk hidup di muka bumi ini.

Melihat dari keprihatinan inilah, tema yang diusung dalam memperingati hari perdamaian internasional adalah Climate Action For Peace. Dimana pada kesempatan ini kita diajak untuk berefleksi dan melakukan sebuah aksi nyata, untuk melawan kerusakan dan menjaga bumi sebagai bentuk tanggungjawab kita. Dalam kitab Mazmur pasal 104 kita diingatkan posisi kita sebagai manusia, dimana dalam pasal ini mengemukakan bahwa manusia sebagai bagian dari alam ciptaan Allah, manusia dan alam ditempatkan setara dan sama-sama berada di bawah kuasa Allah. Dalam nyanyian Mazmur ini kita dapat menyaksikan bagaimana Allah diagungkan sebagai pencipta yang sungguh besar, bahwa kehidupan dalam alam semesta adalah bersumber dari Dia saja, dengan kekuasaanNya segala sesuatunya hidup. Di Mazmur 104, manusia disebut dalam urutan yang sama dengan makhluk yang lain dan habitatnya. Manusia mempunyai kedudukan yang setara dengan makhluk hidup yang lain. Manusia memang merupakan penguasa alam, tetapi manusia itu juga ciptaan Allah, artinya ia rapuh dan bergantung kepada Allah. Mungkin saat ini banyak orang berpendapat bahwa untuk dapat menjaga atau menata alam, maka saat ini manusia harus memiliki otoritas terlebih dahulu. Namun yang dibicarakan adalah mengenai menjaga alam dan bukan hanya sekedar manusia mengelola alam yang mengandalkan pada wewenang sebagai penguasa. Manusia yang ingin menata alam dalam rangka menyelamatkan alam, harus terlebih dahulu menyadari bahwa sebelum manusia yang menata alam, sudah ada Tuhan yang lebih dahulu menata. Tuhan menatanya dengan adil, sehingga penataan tersebut memperlihatkan irama yang teratur. Kita manusia yang ditata Allah, ternyata merupakan bagian dari alam, maka dari itu dalam Mazmur 104 digambarkan bahwa habitat itu menentukan.

Dengan demikian, kita sebagai ciptaan yang diberi mandat Allah, untuk menjaga alam hendaknya berkomitmen untuk merawat alam ciptaan-Nya, untuk menciptakan kedamaian dan menjaga generasi masa mendatang. Kekuasaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah kuasa sebagai penatalayan yang bertanggungjawab, termasuk penggunaan atau pemanfaatan sumber daya yang ada. Suatu hal yang mustahil jika Allah menciptakan bumi dan menyerahkan kepada manusia hanya untuk dihancurkan atau dieksploitasi untuk memenuhi kebutuhan sekarang dengan mengorbankan kesejahteraan atau “mengkhianati anak cucu kita” di masa mendatang. Sebaliknya, kuasa tersebut merupakan pendelegasian atas alam ciptaan, yang di dalamnya memuat unsur pertanggungjawaban baik kepada Allah sebagai Sang Pemilik bumi dan kepada sesama (sebuah kesolidaritasan) serta rasa hormat terhadap lingkungan hidup kita. Selamat menjaga alam sebagai bentuk tanggungjawab kita kepada dan menciptakan kedamaian dimuka bumi ini.

Posisi manusia di antara mahluk Allah lainnya adalah sebagai khalifah, yang berarti manusia menjadi wakil Allah di muka bumi. Ini disebut juga sebagai "khalifah fil ardh" atau "khalifah di bumi".

Berikut beberapa contoh interaksi antara manusia dengan mahluk Allah lainnya:

1. Interaksi antara manusia dan tumbuhan: Manusia membutuhkan tumbuhan sebagai sumber makanan dan oksigen, sedangkan tumbuhan membutuhkan manusia untuk ditanam, diusir hama, dan diberi perairan.

2. Interaksi antara manusia dan hewan: Manusia menjadi wakil Allah di muka bumi, yang berarti manusia memiliki tugas untuk memelihara dan menjaga hewan, termasuk mengatur perairan, mengusir hama, dan menjaga kesehatan hewan.

3. Interaksi antara manusia dan lingkungan alam: Manusia memiliki tugas untuk memelihara lingkungan alam, termasuk mengelola air, tanah, dan udara.

4. Interaksi antara manusia dan bencana alam: Manusia memiliki tugas untuk mengatur kondisi lingkungan alam, seperti mengurangi pencemaran udara dan air, serta mengurangi risiko bencana alam, seperti gempa bumi dan banjir.

5. Interaksi antara manusia dan sumber daya alam: Manusia memiliki tugas untuk mengelola sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara, serta mengurangi penggunaan sumber daya alam yang tidak berwujud.

Semua interaksi ini merupakan contoh dari posisi manusia di antara mahluk Allah lainnya, yang berfungsi sebagai wakil Allah di muka bumi.

Artinya : “Hai anak Adam[530], sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, dan pakaian takwa[531] itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Q.S. Al-A’raaf, 07: 26)  

2.4 Manusia Sebagai Khalifatan fil Ardh 

Sejak awal penciptaanNya, manusia dijadikan sebagai khalifah di Bumi. Manusia sebagai pemakmur Bumi. maksud dari khalifah fil ardh merupakan representasi manusia menjadi wakil Tuhan di muka bumi yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia lainnya. manusia sebagai khalifah fil ardh tidak hanya berlaku untuk kaum laki-laki saja, namun juga berlaku untuk kaum perempuan.

Seperti yang kita tahu, gambaran pemimpin di masyarakat kita masih mendominasi bahwa laki-laki adalah pemimpin. Beberapa steorotip yang beredar, laki-laki lebih layak untuk kita jadikan pemimpin daripada perempuan. Di sisi lain, steorotip seperti perempuan dianggap kaum yang lemah dan kurang logika menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak layak kita jadikan pemimpin. Padahal, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang setara. Tidak ada perbedaan di antara keduanya.

Tujuan utama penciptaan manusia (perempuan dan laki-laki) adalah menjadi khalifah (pemimpin, pengelola, menejer) dalam kehidupan di bumi. Dalam tata bahasa Arab, kata khalîfah tidak merujuk pada jenis kelamin atau kelompok tertentu. Dengan demikian, semua manusia dari suku apa pun, perempuan dan laki-laki mempunyai fungsi sebagai khalifah dan akan mempertanggung-jawabkan tugas kekhalifahan itu kelak di hadapan Allah Swt.

Dalam konteks individual, tugas khalifah, antara lain mampu menata dan mengelola pikiran, hati dan syahwat. Pertama, mengelola dan menata pikiran agar selalu berfikir positif, tidak berfikir negatif sehingga terhindar dari perilaku buruk sangka dan terjauhkan dari semua perbuatan zalim yang mencederai sesama.

Kedua, mengelola hati atau qalbu agar selalu berprasangka baik kepada sesama manusia, selalu peduli dan punya rasa empati kemanusiaan sehingga ringan tangan menolong kelompok yang tertindas dan marjinal. Dengan mengelola hati kita akan memiliki passion atau kepedulian terhadap sesama, juga kepada sesama makhluk Tuhan.

Ketiga, mengelola syahwat agar mampu menghindarkan diri dari perbuatan tercela, seperti zina, incest, pedofili, pelecehan seksual, serta semua bentuk hubungan seksual yang tidak terpuji. Mengelola dan menata syahwat sangat penting diajarkan pada anak-anak, apalagi ketika mereka menjelang usia remaja. Sebab, pada masa pancaroba tersebut anak-anak menghadapi gempuran godaan dan rayuan, terlebih lagi melalui sosial media dan internet.

Dalam konteks sosial, tugas khalifah adalah amar ma’ruf nahy munkar (melakukan perbaikan moral masyarakat dengan upaya-upaya transformasi dan humanisasi). Upaya transformasi dan humanisasi maksudnya adalah upaya-upaya perbaikan dan peningkatan kualitas diri manusia ke arah yang lebih baik, lebih positif dan konstruktif.

Upaya transformasi dan humanisasi tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan edukasi, seperti pendidikan dan pelatihan, penyampaian informasi dan publikasi yang berguna, serta advokasi dalam bentuk mencerahkan masyarakat atau membela kelompok-kelompok yang mengalami penindasan dan perlakukan tidak adil, seperti kelompok miskin, minoritas, perempuan dan anak, difabel (kelompok cacat) dan Odha (penderita HIV/Aids) dan sebagainya.

Karena itu, dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh, yakni sebagai agen perubahan moral. Hanya satu kata kunci yang memungkinkan manusia: perempuan dan laki-laki mampu mempertanggungjawabkan fungsinya sebagai khalîfah. Kata kunci itu adalah ketakwaan, bukan keutamaan keturunan (nasab), jenis kelamin tertentu, dan bukan pula kemuliaan suku.

Tugas berat dan penting tersebut tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis manusia, sementara satu jenis yang lain melakukan hal sebaliknya. Sebagai manusia yang mengemban tugas kekhalifahan yang sama, laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk saling bekerja sama, bahu-membahu dan saling mendukung dalam melakukan amar ma’rûf nahyi munkar. Hal itu dijelaskan dalam ayat berikut:

Dan orang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian lain. mereka menyuruh yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. ( al-Taubah, 9: 71).

 Al-Qur’an sama sekali tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Tidak ada keistimewaan khusus bagi laki-laki atau perempuan, semua setara di hadapan Tuhan, yakni sama-sama sebagai hamba Allah dan sama-sama berfungsi sebagai khalifah Allah. Setiap orang akan diberi pahala sesuai amal kebaikan masing-masing, dan yang menilai perbuatan manusia hanya Allah semata, bukan manusia. 

 DAFTAR PUSTAKA 

Harun Yahya, Juni 2004, The Qur’an Leads The Way To Science, Dzikra https://www.slideshare.net/maxsahuleka/harun-yahya-alquran-dan-sains

 Ilmu Ushuluddin, Volume 1, Nomor 4, Juli 201 

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta; Universitas Indonesia Press,1996),120.

Sabtu, 16 Maret 2024

Tugas Resume BAB 1 Rombel 44

NAMA : BAIQ ZIADATUL AFNI AZKIYA 

NIM : 2315011007 

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA 

JURUSAN : TEKNOLOGI INDUSTRI

 FAKULTAS : TEKNIK DAN KEJURUAN

 BAB 1 PENDAHULUAN 

1.1 Kebenaran Mutlak dan Kebenaran Sementara Kebenaran merupakan dambaan semua makhluk di dunia ini. Jika keseluruhan atau sebagian dari sesuatu agama tidak benar, kita harus menolaknya. Dan utnuk memelihara sesuatu kepercayaan yang tidak benar, walaupun kepercayaan itu berfaedah bagi masyarakat, adalah merupakan suatu sikap yang bertentangan dalam diri sendiri. Jika sesuatu agama tidak benar berarti agama itu jahat, jikalau tuhan tidak ada, berdoa itu hanya membuang-buang waktu saja dan tidak dapat dipertahankan. Juga jika tidak ada kehidupan sesudah mati, sebaiknya kita mengetahui hal tersebut dengan bukti-bukti yang nyata dan selekas mungkin. Trueblood, Philosophy of Religion, diterjemahkan oleh H.M Rasjidi dengan judul Filsafat Agama.(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 2002). H. 15. Nilai kebenaran adalah nilai yang bersumber pada unsur akal manusia, yang bersifat mutlak dan digunakan sebagai standar dalam mengukur apakah suatu informasi atau kepercayaan adalah benar atau tidak. Nilai kebenaran bersifat universal dan digunakan sebagai penilaian utama dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan ilmu pengetahuan. Dapat diketahui bahwa manusia selalu mencari kebenaran untuk memperoleh esensi hidup,kebenaran terbagi menjadi 2 yaitu kebenaran mutlak dan sementara. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah yang mahabesar, sifatnya tidak dapat di ganggu, gugat, atau berubah. Kebenaran mutlak merupakan suatu pacuan dan batas standar bagi apa yang disebut dengan kebenaran sementara Kebenaran mutlak mempunyai sifat universal yang berlaku bagi semua orang, tidak berubah-ubah, dan tidak berganti, serta integral yang tidak ada konflik di dalamnya dan tanpa ada kesalahahan sedikitpun. Nilai kebenaran yang bersifat Ilahiah, sangat mutlak. Kemutlakan itu mengindikasikan sesuatu yang tetap, tidak akan berubah, bahkan sama sekali steril dari kemungkinan tafsir-tafsir. Tafsir yang empiris ilmiah sekalipun. Dalam menimbang nilai-nilai kebenaran, Islam mengenal tiga tingkatan proses pemahaman tentangnya. Ada nilai kebenaran yangdisebut ‘ilmulyaqiin (kebenaran yang didukung oleh pengetahuan teori), ‘ainulyaqiin (kebenaran yang dilengkapai dengan hasil pembuktian empiris dalam aneka penelitian kasat mata), dan haqqulyaqiin (kebenaran imaniah, tingkat kebenaran tertinggi yang dibarengi dengan kepasrahan atas pemilik kebenaran yang mutlak).Contoh kebenaran mutlak adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada Qada dan Qadar. Sedangkan kebenaran sementara adalah kebenaran yang diciptakan oleh manusia dan dapat berubah secara terus-menerus. Contoh kebenaran sementara adalah teori-teori dalam kehidupan yang bersumber dari gagasan manusia, seperti ilmu pengetahuan yang berasal dari pikiran atau pendapat manusia dan para ilmuwan. 

1.2 Keterbatasan Ilmu Pengetahuan Keterbatasan ilmu pengetahuan adalah keterbatasan yang mengenai pengetahuan yang dimiliki manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia berasal dari pengetahuan manusia tentang alam sekitarnya, yang dibangun atas kerja sama antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Namun, pengetahuan manusia tidak sempurna dan juga tidak mutlak, karena subjek memiliki keterbatasan daya inderawi dan daya intelektualnya, dan objek yang diketahui juga tidak sederhana (kompleks). Keterbatasan ilmu pengetahuan mempengaruhi ilmu yang merupakan hasil sistematis dari pengetahuan yang didapat manusia. Selama manusia tidak menemukan pengetahuan baru, ilmu pengetahuan tidak akan maju atau berkembang. Dalam agama Islam, pencarian ilmu dianggap sebagai tugas utama umat manusia. Firman Allah dalam Surah Al-Isra' (17): 85, "Dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit," memberikan pemahaman mendalam tentang keterbatasan pengetahuan manusia. Ketika Allah mengajari manusia tentang segala ilmu pengetahuan yang telah disebarNya dalam kuantitas yang sangat sedikit (Q.S. Al-Israa, 17: 85), ilmu itu disebarkan seperti serbuk bunga yang dibawa angin. Oleh karena itu, Allah menetapkan, siapapun bisa mengakses serbuk ilmu itu dan menempelkannya dalam putik bunga pikiran tanpa batas kelompok sosial, bangsa, negara, ataupun keimanan. Ilmu Allah adalah ilmu yang open source, yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang memiliki semangat pencarian tinggi dan istiqamah. Manusia sebagai sosok mahluk hidup yang diciptakan Tuhan, dalam dirinya memang telah dilengkapi dengan akal-pikir, hati (qalbun), dan nafsu. Dengan akal pikirnya, manusia dapat mefungsikan otak kanannya yang bersifat intuitif-holistik untuk berfikir tentang keindahan, dan dengan otak kirinya yang bersifat logik-aritmatik manusia dapat berfikir mengenai logika-logika dan statistika. Melalui hatinya, manusia dapat mempertimbangkan apa yang dipikirkannya berkaitan dengan nilai-nilai normatif kemasyarakatan. Baik berkaitan dengan norma agama, norma hukum, maupun norma sopan santun dalam tatanan kehidupan sosial. Sedangkan dengan nafsunya manusia dapat "bergerak", untuk mefungsikan akal pikirnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci, manusia itu diciptakan untuk menjadi khalifah dengan kedudukannya sebagai centre of mind (pusat pemikiran) dalam sistem kendali alam semesta. Sebab itu sosok individu yang disebut sebagai manusia menjadi wajib hukumnya memiliki ilmu untuk mampu membaca, memahami, dan mengerti tentang hakekat dari keberadaannya sendiri. Dengan demikian manusia yang berilmu, yang memahami tentang peran dan kedudukannya sebagai khalifah, akan menempatkan dirinya sebagai subyek dalam posisi diametral dengan Tuhannya, yakni antara hamba dan Penciptanya. Sebaliknya, manusia yang terbelenggu oleh ego-sentrisnya secara membabi buta, yang tanpa disadarinya dapat saja terjadi manusia yang seperti itu tergelincir, dan terbawa arus tipuan-tipuan kemasan modernitas, sehingga kedudukannya telah menjadi obyek dalam sistem kealam semestaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwasanya bidang keilmuan itu memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tertentukan sifatnya. Itulah yang disebut dengan keahlian-keahlian (expert). Berangkat dari uraian di atas dapat ditarik suatu konklusi, bahwa keberhasilan maupun kegagalan seseorang pada dasarnya dilatarbelakangi masalah kemampuan di bidang ilmu pengetahuan. Itu berarti, ilmu pengetahuan dapat disebut sebagai kausa utama yang menempati prioritas pertama dalam sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia, maka haruslah ia memiliki ilmu. Dan, barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, maka wajiblah ia memiliki ilmu. Dan, barangsiapa mengharapkan kedua-duanya (dunia dan akhirat), maka ia pun harus memiliki ilmu." Di sisi lain, kegagalan yang seringkali diterjemahkan sebagai wujud musibah, ternyata dalam wujudnya tidak sebagai peristiwa tunggal. Disebabkan adanya kegagalan, maka pada diri manusia yang tertimpa kegagalan itu dapat tertimpa pula bentuk-bentuk kegagalan-kegagalan yang lain sebagai efek domino. Dengan kata lain, dikarenakan adanya kegagalan timbullah masalah-masalah lain yang membutuhkan penyelesaian. Bilamana situasi yang membutuhkan penyelesaian tersebut ternyata mengalami hambatan-hambatan dalam upayanya mencari solusi, maka muncullah frustasi. Yakni, situasi terhambat pada kejiwaan seseorang dalam upayanya untuk pemuasan kebutuhan personal maupun karena tuntutan lingkungan. Menurut kalangan psikolog, wujud hambatan yang muncul pada diri seseorang yang menghalangi upayanya menemukan solusi dapat disebabkan oleh: Hambatan internal, seperti keterbatasan pengetahuan, keterbatasan kemampuan intelektualitas, atau karena kebodohan; dan hambatan eksternal, seperti adanya ketentuan disiplin, aturan-aturan normatif kemasyarakatan, atau pembatasan-pembatasan atas perilaku sosial lainnya. Dalam menghadapi situasi frustasi, setiap manusia memiliki toleransi frustasi yang sifatnya individual sekali. Yakni, sebagai batas ambang intensitas kondisi frustasi yang dapat diatasi, tanpa menyertakan gangguan fungsi kepribadian atau mental. Batas ambang frustasi seseorang berkait erat dengan aspek kepribadian yang perkembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain keturunan, lingkungan sosial dan pergaulan, serta watak dasar yang dimiliki oleh yang bersangkutan. 

 1.3 Proses Berpikir Ilmiah Dalam bahasan keilmuan, dikenal bahwa kaidah ilmu ditegakkan oleh orde (tatanan yang tertaur), determinisme (sebab, pendahulu), parsimoni (kesederhanaan dalam penjelasan dan mencakup lebih banyak fenomena), dan empirisme (menunjukkan kepercayaan pada observasi dan eksperimen). Oleh karena itu, penemuan ilmiah, teori ilmiah, bisa ditelusuri dan dikaji ulang, diuji ulang, melalui jalan yang sama oleh ilmuwan yang berbeda (Rakhmat, 1989: 1-13). Individu dalam kesehariannya selalu melakukan aktivitas mental dan merupakan ciri utama manusia ciptaan Allah yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya ciptaan-Nya. Berpikir adalah upaya manusia untuk menyelesaikan masalah. Secara umum berpikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berpikir alamiah adalah pola penalaran yang didasarkan pada kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh lingkungan alam, sedangkan berpikir ilmiah adalah pola penalaran yang didasarkan pada cara-cara tertentu secara teratur dan cermat. Harus disadari bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk berpikir dan menggunakan akal sebanyak mungkin. Orang yang tidak berpikir jauh dari kebenaran dan menjalani kehidupan yang penuh dengan kebohongan dan kesalahan. Akibatnya individu tidak akan mengetahui tujuan dari penciptaan alam dan makna keberadaannya di dunia. Berpikir adalah tindakan menemukan pengetahuan atau kebenaran sejati. Dalam pengertian lainnya, berpikir dapat juga diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil oleh seseorang. Oleh karena itu, pemikiran ilmiah merupakan suatu proses atau aktivitas manusia untuk menemukan atau memperoleh pengetahuan yang dicirikan oleh sebab-akibat, analisis, dan sintesis. Pemikiran ilmiah adalah pemikiran logis dan empiris. Logika itu logis dan empiris dibahas secara mendalam atas dasar fakta yang dapat dibenarkan, selain menggunakan akal untuk merenung, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir ilmiah adalah proses berpikir atau mengembangkan pemikiran yang tersusun secara sistematis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang ada. Salam (1997) mengartikan tentang berfikir ilmiah, yaitu proses atau aktivitas seseorang untuk menemukan atau memperoleh pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah proses berpikir yang mengarah pada suatu kesimpulan berupa pengetahuan. Suriasumantri (1999)menyatakan bahwa berpikir adalah bekerjanya pikiran untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Pemikiran ilmiah adalah operasi pikiran yang menggabungkan induksi dan deduksi. Berpikir ilmiah adalah metode berpikir yang didasarkan pada logika deduktif dan induktif. Pemikiran ilmiah adalah upaya untuk menemukan fakta dan ide yang sebelumnya tidak diketahui. Sains adalah proses mencari pengetahuan melalui observasi berdasarkan teori atau generalisasi. Ilmu mencoba memahami alam sebagaimana adanya, dan kemudian hasil kegiatan ilmiah menjadi alat untuk meramalkan dan mengendalikan fenomena alam. Cara berpikir ilmiah tidak dapat dipisahkan dari fakta-fakta peristiwa alam, yang kebenarannya selalu dikaitkan dengan hasil penelitian eksperimental. Jika suatu teori tidak dapat dibuktikan dengan pengujian eksperimental dikatakan tidak dapat dipercaya karena tidak memenuhi kriteria keilmuan. Mustofa, I. (2016). Jendela Logika dalam Berpikir; Deduksi dan Induksi sebagai Dasar. Proses berpikir ilmiah didahului oleh aneka bentuk keraguan, ketidakpercayaan, keheranan, keingintahuan, yang dilanjutkan dengan kegiatan menyusun rancangan kegiatan pencarian jawaban atas segala keingintahuan itu. Melalui kegiatan penelitian, eksplorasi, eksperimentasi, manusia menguji hipotesisnya untuk merumuskan simpulan berupa jawaban atas aneka pertanyaan yang diajukan. Prinsip utamanya, kegiatan ilmiah selalu dimulai dengan ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan dan empirisme menjadi kunci kegiatan ilmiah yang dipercaya sebagai tonggak awal kegiatan. Sementara itu, proses berpikir ilmiah berbeda dengan proses berkeimanan, yang harus didasari oleh kondisi kesiapan menerima apa yang telah ditetapkan oleh Yang Mahakuasa. Di dalam proses berkeimanan, ada yang bisa dibuktikan secara ilmiah, ada juga yang pembuktiannya bertalian dengan waktu tunggu pengujian nilai keimanan manusia tentang kebenaran yang hak, haqqulyaqin. 

1.4 Proses Berkeimanan Berpikir dan bersikap ilmiah berbeda dengan prinsip keimanan. Keimanan harus didahului oleh keyakinan-keyakinan tertentu. Pada kenyataannya ada sejumlah unsur keimanan yang tidak memerlukan pembuktian empiris. Seseorang yang beriman kepada eksistensi Allah, yang bersangkutan tidak perlu mencari bukti keberadaan Allah, Sang Kholik, dalam kondisi fisik. Ketidakmungkinan membuktikan adanya Tuhan secara fisik, tidak berarti akan selalu menghilangkan nilai keimanan seseorang. Penelitian manusia tentang keberadaan Tuhan, bisa dilakukan dengan cara menelusuri tanda-tanda keberadaan Tuhan yang sangat empirik. Begitupun keimanan tentang adanya alam akhirat, surga, neraka, kehidupan di dalam qubur, dan aneka keimanan atas hal ghaib lainnya, tidak memerlukan bukti empirik yang fisik, atau pengalaman langsung. Proses berkeimanan merupakan proses yang terkait dengan ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia. Ilmu ini dapat diperoleh melalui proses pembelajaran, seperti membaca, menulis, dan memahami sesuatu. Proses berkeimanan juga terkait dengan ilmu pengetahuan yang diungkapkan dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan Ilmu ini dapat diperoleh dari proses pembelajaran, yang merupakan tujuan dari proses berkeimanan. Dalam proses berkeimanan, tampaknya, seseorang harus lebih banyak menggunakan bentuk pembuktian terbalik. Hudan, petunjuk, ilmu, referensi, telah disediakan oleh Allah yang menguasi kebenaran yang mutlak. Referensi yang telah tersusun dalam bentuk kitab suci Al-Quran, adalah sumber kebenaran dalam tataran ilmulyaqiin dan sebagian di antara penjelasannya bisa mengantarkan manusia ke dalam tataran ainulyaqiin. Bahkan, bagi sekelompok orang tertentu yang terpilih, penjelasan-penjelasan itu sudah cukup menjadi jalan yang mengantarkan mereka ke dalam tataran haqqulyaqiin. Keadaan itu, tentu, sangat terkait dengan nilai-nilai keimanan yang telah dimiliki oleh kelompok orang tadi. Allah menyebutnya sebagai ulul-albaab. Ada jalan menuju kebenaran haqqulyaqiin melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh seseorang. Keterangan tentang hasil penemuan itu, sebetulnya, telah lama ada dan bisa dibaca di dalam Al-Quran. Tetapi, karena sifat buruk rata-rata manusia yang kerap lebih mengagungkan rasio, nafsu, kesadaran keimanan baru muncul setelah dihadapkan kepada bukti empiris yang fisik.

Selasa, 12 Maret 2024

HOME

Nama Lengkap : Baiq Ziadatul Afni Azkiya
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Praya, 11 Juni 2005
Alamat : Rembitan, Pujut Lombok Tengah
Telepon : 087863266960
Nama Ayah : Lalu Jaye
Nama Ibu : Baiq Baeah Hayani

UAS AGAMA ISLAM ROMBEL 44