Sabtu, 16 Maret 2024

Tugas Resume BAB 1 Rombel 44

NAMA : BAIQ ZIADATUL AFNI AZKIYA 

NIM : 2315011007 

PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KESEJAHTERAAN KELUARGA 

JURUSAN : TEKNOLOGI INDUSTRI

 FAKULTAS : TEKNIK DAN KEJURUAN

 BAB 1 PENDAHULUAN 

1.1 Kebenaran Mutlak dan Kebenaran Sementara Kebenaran merupakan dambaan semua makhluk di dunia ini. Jika keseluruhan atau sebagian dari sesuatu agama tidak benar, kita harus menolaknya. Dan utnuk memelihara sesuatu kepercayaan yang tidak benar, walaupun kepercayaan itu berfaedah bagi masyarakat, adalah merupakan suatu sikap yang bertentangan dalam diri sendiri. Jika sesuatu agama tidak benar berarti agama itu jahat, jikalau tuhan tidak ada, berdoa itu hanya membuang-buang waktu saja dan tidak dapat dipertahankan. Juga jika tidak ada kehidupan sesudah mati, sebaiknya kita mengetahui hal tersebut dengan bukti-bukti yang nyata dan selekas mungkin. Trueblood, Philosophy of Religion, diterjemahkan oleh H.M Rasjidi dengan judul Filsafat Agama.(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 2002). H. 15. Nilai kebenaran adalah nilai yang bersumber pada unsur akal manusia, yang bersifat mutlak dan digunakan sebagai standar dalam mengukur apakah suatu informasi atau kepercayaan adalah benar atau tidak. Nilai kebenaran bersifat universal dan digunakan sebagai penilaian utama dalam kehidupan sosial, keagamaan, dan ilmu pengetahuan. Dapat diketahui bahwa manusia selalu mencari kebenaran untuk memperoleh esensi hidup,kebenaran terbagi menjadi 2 yaitu kebenaran mutlak dan sementara. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang datang dari Allah yang mahabesar, sifatnya tidak dapat di ganggu, gugat, atau berubah. Kebenaran mutlak merupakan suatu pacuan dan batas standar bagi apa yang disebut dengan kebenaran sementara Kebenaran mutlak mempunyai sifat universal yang berlaku bagi semua orang, tidak berubah-ubah, dan tidak berganti, serta integral yang tidak ada konflik di dalamnya dan tanpa ada kesalahahan sedikitpun. Nilai kebenaran yang bersifat Ilahiah, sangat mutlak. Kemutlakan itu mengindikasikan sesuatu yang tetap, tidak akan berubah, bahkan sama sekali steril dari kemungkinan tafsir-tafsir. Tafsir yang empiris ilmiah sekalipun. Dalam menimbang nilai-nilai kebenaran, Islam mengenal tiga tingkatan proses pemahaman tentangnya. Ada nilai kebenaran yangdisebut ‘ilmulyaqiin (kebenaran yang didukung oleh pengetahuan teori), ‘ainulyaqiin (kebenaran yang dilengkapai dengan hasil pembuktian empiris dalam aneka penelitian kasat mata), dan haqqulyaqiin (kebenaran imaniah, tingkat kebenaran tertinggi yang dibarengi dengan kepasrahan atas pemilik kebenaran yang mutlak).Contoh kebenaran mutlak adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada kitab-kitab Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, iman kepada hari kiamat, dan iman kepada Qada dan Qadar. Sedangkan kebenaran sementara adalah kebenaran yang diciptakan oleh manusia dan dapat berubah secara terus-menerus. Contoh kebenaran sementara adalah teori-teori dalam kehidupan yang bersumber dari gagasan manusia, seperti ilmu pengetahuan yang berasal dari pikiran atau pendapat manusia dan para ilmuwan. 

1.2 Keterbatasan Ilmu Pengetahuan Keterbatasan ilmu pengetahuan adalah keterbatasan yang mengenai pengetahuan yang dimiliki manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia berasal dari pengetahuan manusia tentang alam sekitarnya, yang dibangun atas kerja sama antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Namun, pengetahuan manusia tidak sempurna dan juga tidak mutlak, karena subjek memiliki keterbatasan daya inderawi dan daya intelektualnya, dan objek yang diketahui juga tidak sederhana (kompleks). Keterbatasan ilmu pengetahuan mempengaruhi ilmu yang merupakan hasil sistematis dari pengetahuan yang didapat manusia. Selama manusia tidak menemukan pengetahuan baru, ilmu pengetahuan tidak akan maju atau berkembang. Dalam agama Islam, pencarian ilmu dianggap sebagai tugas utama umat manusia. Firman Allah dalam Surah Al-Isra' (17): 85, "Dan tidaklah kamu diberi ilmu melainkan sedikit," memberikan pemahaman mendalam tentang keterbatasan pengetahuan manusia. Ketika Allah mengajari manusia tentang segala ilmu pengetahuan yang telah disebarNya dalam kuantitas yang sangat sedikit (Q.S. Al-Israa, 17: 85), ilmu itu disebarkan seperti serbuk bunga yang dibawa angin. Oleh karena itu, Allah menetapkan, siapapun bisa mengakses serbuk ilmu itu dan menempelkannya dalam putik bunga pikiran tanpa batas kelompok sosial, bangsa, negara, ataupun keimanan. Ilmu Allah adalah ilmu yang open source, yang bisa dimanfaatkan oleh siapapun yang memiliki semangat pencarian tinggi dan istiqamah. Manusia sebagai sosok mahluk hidup yang diciptakan Tuhan, dalam dirinya memang telah dilengkapi dengan akal-pikir, hati (qalbun), dan nafsu. Dengan akal pikirnya, manusia dapat mefungsikan otak kanannya yang bersifat intuitif-holistik untuk berfikir tentang keindahan, dan dengan otak kirinya yang bersifat logik-aritmatik manusia dapat berfikir mengenai logika-logika dan statistika. Melalui hatinya, manusia dapat mempertimbangkan apa yang dipikirkannya berkaitan dengan nilai-nilai normatif kemasyarakatan. Baik berkaitan dengan norma agama, norma hukum, maupun norma sopan santun dalam tatanan kehidupan sosial. Sedangkan dengan nafsunya manusia dapat "bergerak", untuk mefungsikan akal pikirnya agar dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan hidupnya. Sebagaimana tertulis dalam kitab suci, manusia itu diciptakan untuk menjadi khalifah dengan kedudukannya sebagai centre of mind (pusat pemikiran) dalam sistem kendali alam semesta. Sebab itu sosok individu yang disebut sebagai manusia menjadi wajib hukumnya memiliki ilmu untuk mampu membaca, memahami, dan mengerti tentang hakekat dari keberadaannya sendiri. Dengan demikian manusia yang berilmu, yang memahami tentang peran dan kedudukannya sebagai khalifah, akan menempatkan dirinya sebagai subyek dalam posisi diametral dengan Tuhannya, yakni antara hamba dan Penciptanya. Sebaliknya, manusia yang terbelenggu oleh ego-sentrisnya secara membabi buta, yang tanpa disadarinya dapat saja terjadi manusia yang seperti itu tergelincir, dan terbawa arus tipuan-tipuan kemasan modernitas, sehingga kedudukannya telah menjadi obyek dalam sistem kealam semestaan. Kenyataan ini menunjukkan bahwasanya bidang keilmuan itu memiliki keterbatasan-keterbatasan yang tertentukan sifatnya. Itulah yang disebut dengan keahlian-keahlian (expert). Berangkat dari uraian di atas dapat ditarik suatu konklusi, bahwa keberhasilan maupun kegagalan seseorang pada dasarnya dilatarbelakangi masalah kemampuan di bidang ilmu pengetahuan. Itu berarti, ilmu pengetahuan dapat disebut sebagai kausa utama yang menempati prioritas pertama dalam sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia, maka haruslah ia memiliki ilmu. Dan, barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat, maka wajiblah ia memiliki ilmu. Dan, barangsiapa mengharapkan kedua-duanya (dunia dan akhirat), maka ia pun harus memiliki ilmu." Di sisi lain, kegagalan yang seringkali diterjemahkan sebagai wujud musibah, ternyata dalam wujudnya tidak sebagai peristiwa tunggal. Disebabkan adanya kegagalan, maka pada diri manusia yang tertimpa kegagalan itu dapat tertimpa pula bentuk-bentuk kegagalan-kegagalan yang lain sebagai efek domino. Dengan kata lain, dikarenakan adanya kegagalan timbullah masalah-masalah lain yang membutuhkan penyelesaian. Bilamana situasi yang membutuhkan penyelesaian tersebut ternyata mengalami hambatan-hambatan dalam upayanya mencari solusi, maka muncullah frustasi. Yakni, situasi terhambat pada kejiwaan seseorang dalam upayanya untuk pemuasan kebutuhan personal maupun karena tuntutan lingkungan. Menurut kalangan psikolog, wujud hambatan yang muncul pada diri seseorang yang menghalangi upayanya menemukan solusi dapat disebabkan oleh: Hambatan internal, seperti keterbatasan pengetahuan, keterbatasan kemampuan intelektualitas, atau karena kebodohan; dan hambatan eksternal, seperti adanya ketentuan disiplin, aturan-aturan normatif kemasyarakatan, atau pembatasan-pembatasan atas perilaku sosial lainnya. Dalam menghadapi situasi frustasi, setiap manusia memiliki toleransi frustasi yang sifatnya individual sekali. Yakni, sebagai batas ambang intensitas kondisi frustasi yang dapat diatasi, tanpa menyertakan gangguan fungsi kepribadian atau mental. Batas ambang frustasi seseorang berkait erat dengan aspek kepribadian yang perkembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain keturunan, lingkungan sosial dan pergaulan, serta watak dasar yang dimiliki oleh yang bersangkutan. 

 1.3 Proses Berpikir Ilmiah Dalam bahasan keilmuan, dikenal bahwa kaidah ilmu ditegakkan oleh orde (tatanan yang tertaur), determinisme (sebab, pendahulu), parsimoni (kesederhanaan dalam penjelasan dan mencakup lebih banyak fenomena), dan empirisme (menunjukkan kepercayaan pada observasi dan eksperimen). Oleh karena itu, penemuan ilmiah, teori ilmiah, bisa ditelusuri dan dikaji ulang, diuji ulang, melalui jalan yang sama oleh ilmuwan yang berbeda (Rakhmat, 1989: 1-13). Individu dalam kesehariannya selalu melakukan aktivitas mental dan merupakan ciri utama manusia ciptaan Allah yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lainnya ciptaan-Nya. Berpikir adalah upaya manusia untuk menyelesaikan masalah. Secara umum berpikir dapat dibedakan antara berfikir alamiah dan berfikir ilmiah. Berpikir alamiah adalah pola penalaran yang didasarkan pada kehidupan sehari-hari yang dipengaruhi oleh lingkungan alam, sedangkan berpikir ilmiah adalah pola penalaran yang didasarkan pada cara-cara tertentu secara teratur dan cermat. Harus disadari bahwa setiap orang memiliki kebutuhan untuk berpikir dan menggunakan akal sebanyak mungkin. Orang yang tidak berpikir jauh dari kebenaran dan menjalani kehidupan yang penuh dengan kebohongan dan kesalahan. Akibatnya individu tidak akan mengetahui tujuan dari penciptaan alam dan makna keberadaannya di dunia. Berpikir adalah tindakan menemukan pengetahuan atau kebenaran sejati. Dalam pengertian lainnya, berpikir dapat juga diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil oleh seseorang. Oleh karena itu, pemikiran ilmiah merupakan suatu proses atau aktivitas manusia untuk menemukan atau memperoleh pengetahuan yang dicirikan oleh sebab-akibat, analisis, dan sintesis. Pemikiran ilmiah adalah pemikiran logis dan empiris. Logika itu logis dan empiris dibahas secara mendalam atas dasar fakta yang dapat dibenarkan, selain menggunakan akal untuk merenung, memutuskan, dan mengembangkan. Berpikir ilmiah adalah proses berpikir atau mengembangkan pemikiran yang tersusun secara sistematis berdasarkan pengetahuan ilmiah yang ada. Salam (1997) mengartikan tentang berfikir ilmiah, yaitu proses atau aktivitas seseorang untuk menemukan atau memperoleh pengetahuan. Berpikir ilmiah adalah proses berpikir yang mengarah pada suatu kesimpulan berupa pengetahuan. Suriasumantri (1999)menyatakan bahwa berpikir adalah bekerjanya pikiran untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Pemikiran ilmiah adalah operasi pikiran yang menggabungkan induksi dan deduksi. Berpikir ilmiah adalah metode berpikir yang didasarkan pada logika deduktif dan induktif. Pemikiran ilmiah adalah upaya untuk menemukan fakta dan ide yang sebelumnya tidak diketahui. Sains adalah proses mencari pengetahuan melalui observasi berdasarkan teori atau generalisasi. Ilmu mencoba memahami alam sebagaimana adanya, dan kemudian hasil kegiatan ilmiah menjadi alat untuk meramalkan dan mengendalikan fenomena alam. Cara berpikir ilmiah tidak dapat dipisahkan dari fakta-fakta peristiwa alam, yang kebenarannya selalu dikaitkan dengan hasil penelitian eksperimental. Jika suatu teori tidak dapat dibuktikan dengan pengujian eksperimental dikatakan tidak dapat dipercaya karena tidak memenuhi kriteria keilmuan. Mustofa, I. (2016). Jendela Logika dalam Berpikir; Deduksi dan Induksi sebagai Dasar. Proses berpikir ilmiah didahului oleh aneka bentuk keraguan, ketidakpercayaan, keheranan, keingintahuan, yang dilanjutkan dengan kegiatan menyusun rancangan kegiatan pencarian jawaban atas segala keingintahuan itu. Melalui kegiatan penelitian, eksplorasi, eksperimentasi, manusia menguji hipotesisnya untuk merumuskan simpulan berupa jawaban atas aneka pertanyaan yang diajukan. Prinsip utamanya, kegiatan ilmiah selalu dimulai dengan ketidakpercayaan. Ketidakpercayaan dan empirisme menjadi kunci kegiatan ilmiah yang dipercaya sebagai tonggak awal kegiatan. Sementara itu, proses berpikir ilmiah berbeda dengan proses berkeimanan, yang harus didasari oleh kondisi kesiapan menerima apa yang telah ditetapkan oleh Yang Mahakuasa. Di dalam proses berkeimanan, ada yang bisa dibuktikan secara ilmiah, ada juga yang pembuktiannya bertalian dengan waktu tunggu pengujian nilai keimanan manusia tentang kebenaran yang hak, haqqulyaqin. 

1.4 Proses Berkeimanan Berpikir dan bersikap ilmiah berbeda dengan prinsip keimanan. Keimanan harus didahului oleh keyakinan-keyakinan tertentu. Pada kenyataannya ada sejumlah unsur keimanan yang tidak memerlukan pembuktian empiris. Seseorang yang beriman kepada eksistensi Allah, yang bersangkutan tidak perlu mencari bukti keberadaan Allah, Sang Kholik, dalam kondisi fisik. Ketidakmungkinan membuktikan adanya Tuhan secara fisik, tidak berarti akan selalu menghilangkan nilai keimanan seseorang. Penelitian manusia tentang keberadaan Tuhan, bisa dilakukan dengan cara menelusuri tanda-tanda keberadaan Tuhan yang sangat empirik. Begitupun keimanan tentang adanya alam akhirat, surga, neraka, kehidupan di dalam qubur, dan aneka keimanan atas hal ghaib lainnya, tidak memerlukan bukti empirik yang fisik, atau pengalaman langsung. Proses berkeimanan merupakan proses yang terkait dengan ilmu pengetahuan yang diberikan Allah kepada manusia. Ilmu ini dapat diperoleh melalui proses pembelajaran, seperti membaca, menulis, dan memahami sesuatu. Proses berkeimanan juga terkait dengan ilmu pengetahuan yang diungkapkan dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an menyebutkan bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan yang diberi ilmu pengetahuan Ilmu ini dapat diperoleh dari proses pembelajaran, yang merupakan tujuan dari proses berkeimanan. Dalam proses berkeimanan, tampaknya, seseorang harus lebih banyak menggunakan bentuk pembuktian terbalik. Hudan, petunjuk, ilmu, referensi, telah disediakan oleh Allah yang menguasi kebenaran yang mutlak. Referensi yang telah tersusun dalam bentuk kitab suci Al-Quran, adalah sumber kebenaran dalam tataran ilmulyaqiin dan sebagian di antara penjelasannya bisa mengantarkan manusia ke dalam tataran ainulyaqiin. Bahkan, bagi sekelompok orang tertentu yang terpilih, penjelasan-penjelasan itu sudah cukup menjadi jalan yang mengantarkan mereka ke dalam tataran haqqulyaqiin. Keadaan itu, tentu, sangat terkait dengan nilai-nilai keimanan yang telah dimiliki oleh kelompok orang tadi. Allah menyebutnya sebagai ulul-albaab. Ada jalan menuju kebenaran haqqulyaqiin melalui hasil penelitian yang dilakukan oleh seseorang. Keterangan tentang hasil penemuan itu, sebetulnya, telah lama ada dan bisa dibaca di dalam Al-Quran. Tetapi, karena sifat buruk rata-rata manusia yang kerap lebih mengagungkan rasio, nafsu, kesadaran keimanan baru muncul setelah dihadapkan kepada bukti empiris yang fisik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UAS AGAMA ISLAM ROMBEL 44