NAMA : Baiq Ziadatul Afni Azkiya
NIM : 2315011007
3.1 Mahluk Allah Yang Diciptakan Untuk Beribadat.
Ibadah tak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun ‘uqubat (hukum dan peradilan).
Imam Ibnul Qayyim Aljauziyah menyebutkan bahwa "ibadah" yang sempurna
itu harus menggabungkan dua hal sekaligus secara bersamaan. Yang pertama
adalah cinta dan yang kedua adalah tunduk Artinya, kita belum menjadi
hamba Allah yang benar kecuali kita telah beribadah dengan penuh cinta
dan penuh ketundukan kepada Allah SWT.
Bila seseorang beribadah karena senang, tapi dia tidak patuh dengan
aturan Allah, maka dia belum beribadah dengan benar dan belum menjadi
hamba yang benar. Dia hanya sedang melakukan hobby atau kesukaannya. Ini
biasanya terjadi dalam hal ibadah-ibadah yang menyenangkan. Seperti
ibadah haji, umroh dan lain-lain. Sebaliknya bila seseorang tunduk beribadah kepada Allah, tapi dia
tidak senang dan mencintai Allah, maka dia sedang terpaksa. Tidak tulus
dan tidak ikhlas. Manusia saja tidak suka dengan orang yang bekerja
terpaksa. Apalagi Allah yang Maha Mulia.
Dalam hal ketundukan dan kepatuhan, Allah ta'alaa menegaskan perintahNya dengan sangat jelas (Q.S Ali imran ;32)
Artinya : katakanlah "taatilah Allah dan rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".
Dalam Khutbah Jumat ini Khatib menyampaikan Dua Misi Manusia atau Hamba Allah SWT yaitu Beribadah dan Menjadi Khalifah/Pemimpin.
Misi pertama, Sebagaimana firman Allah SWT (QS. Az-Zariyat; 56)
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Makna yang terkandung ialah Pada hakikatnya ada tujuan tertentu dari wujud manusia dan jin. Kedua makhluk tersebut punya satu tugas yang hanya ditujukan pada Allah SWT. Tugas ini tentunya harus dilaksanakan tanpa kecuali.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui" (Q.S Albaqarah ; 32).
Disebut sebagai khalifah di muka bumi, artinya manusia sebagai wakil atau pemimpin di bumi. Tentunya tugas ini sangat berat sehingga setiap manusia harus memiliki kemampuan mengelola alam semesta sesuai amanat yang diemban. Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang orang yang dipimpinnya. Penguasa adalah pemimpin bagi manusia, dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Maka dari itu Khatib berpesan untuk Menjaga keseimbangan di bumi ini. Kita di beri kesempatan, untuk menembangkan diri, mengekplorasi untuk kemanfaatan di dunia tanpa melupakan tujuan manusia beribadah kepada Allah.
Karena manusia adalah seorang hamba Allah tidak boleh sombong oleh prestasi, pencapaian, inovasinya karena masih ada Allah SWT yang maha agung dari segala-galanya tidak ada tandingannya.
Mahluk lain, mislanya jenis malaikat, iblis, binatang, tumbuhan, dan alam secara luas, berada pada posisi mahluk yang tidak pernah berubah, tidak mampu mengubah dirinya. Allah tidak memberi kesempatan kepada mahluk selain manusia dan jin untuk memiliki kemampuan mengubah kondisi dirinya. Malaikat sejak awal penciptaan oleh Allah tetap berada pada posisi mahluk penurut, selalu taat kepada Allah, sebagai pengabdi kepada Allah yang tiada menyimpang. Semua perintah Allah dijalankan oleh malaikat secara istiqamah. Sebaliknya, bangsa iblis, sejak awal penciptaan Adam As, dan ketika mereka diperintah bersujud oleh Allah untuk (menghormati) manusia pertama yaitu Adam As, tetap berada dalam sikap membangkang.
Kesombongan Iblis adalah salah satu penyebab mengapa Iblis membangkang kepada perintah Allah. Kesombongan yang dimiliki Iblis, tentu, adalah berdasarkan rancangan pasti dari Allah. Allah menetapkan satu kondisi keseimbangan yang menyertai ketaatan. Ketaatan ditetapkan menjadi milik mutlak para malaikat, sementara penyeimbangnya berupa ketidaktaatan, pembangkangan, ditetapkan menjadi milik para Iblis. Keduanya, nanti, akan menyertai kondisi yang telah dianugerahkan kepada manusia (khususnya) dan jin, yaitu sisi taqwa dan sisi fujur (periksa bahasan sebelumnya).
Selain malaikat dan Iblis, mahluk Allah yang lain yaitu tumbuhan dan binatang, dalam kondisi apa pun, memiliki pola kehidupan yang cederung tetap, tidak mampu mengubah dirinya. Jika sebiji bibit ditanam, tunas akan tumbuh ke arah atas, ke arah cahaya matahari. Begitu pun ketika tunas tumbuhan itu dibalikkan membelakangi arah matahari, arah tunas akan berubah mengikuti cahaya matahari.
3.2 Konsep Ibadat Dalam Islam
Konsep ibadah dalam Islam adalah konsep yang mendasar kehidupan spiritual umat Muslim. Ibadah dalam Islam adalah fondasi dari kehidupan spiritual umat Muslim. Dengan mengamalkan ibadah, umat Islam memperkuat hubungan mereka dengan Allah, mencapai tujuan hidup yang sejati, dan memperoleh keberkahan dalam kehidupan sehari-hari. Ibadah dalam Islam dibagi menjadi ibadah umum dan ibadah khusus. Ibadah umum adalah semua amalan yang tercantum dalam bab al-Ibadaat, yang utamanya adalah sembahyang, puasa, zakat, dan haji. Ibadah khusus adalah semua amalan yang tidak tercantum dalam bab al-Ibadaat, tetapi masih mempunyai kesan positif terhadap akhlak dan tabiat orang. Ibadah dalam Islam dibangun atas tiga prinsip dasar: takwa (ketaatan), ihsan (kesempurnaan), dan ikhlas (niat tulus). Takwa adalah ketaatan kepada Allah, yang menjadi prinsip pokok ibadah. Ihsan adalah prinsip yang mengacu pada kesempurnaan yang diinginkan oleh Allah. Ikhlas adalah niat yang tulus, semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan untuk pamer atau tujuan lainnya. Ibadah dalam Islam juga mempunyai hubungan dengan aqidah (kepercayaan). Jika seorang Muslim mempunyai aqidah yang kukuh, maka ia akan lebih ikhlas dan menjalankan ibadah dengan bersungguh-sungguh1. Ibadah juga memiliki kesan positif terhadap akhlak dan tabiat orang, dan mempunyai kesan yang sangatlah berpengaruh, baik di dunia maupun diakhirat.
Bagian dari ibadat imani, seperti yang telah ada dalam pola Rukun Iman (mengimani tentang keberadaan Allah Swt, keberadaan malaikat Allah, kitab-kitab Allah, rasul-rasul Allah, keberadaan hari Qiyamat, dan keberadaan qadha serta qadar Allah), juga mengimani keberadaan mukjizat-mukjizat yang telah diberikan oleh Allah keada para Nabi (Q.S. Al-Baqarah, 02: 03).
Artinya ; (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Hal lain yang ghaib, seperti keberadaan iblis, surga, neraka, pahala, siksa, dan yang tak terindera lainnya, menjadi kewajiban imani bagi semua manusia. Ibadat vertikal termaktub dalam pola aturan Rukun Islam. Ia terdiri atas ikrar dua kalimat syahadat, shalat, shaum, zakat, dan hajji. Ibadat amaliyah adalah juga menjadi tuntutan Allah kepada manusia, yaitu ibadat mu’amalat (horizontal antar manusia) dan ibadat horizontal lainnya berupa perilaku manusia terhadap alam .
- Ibadat mahdhah: Ibadat mahdhah merupakan ibadat yang telah ditentukan dan menjadi syariat bagi umat Islam. Ini termasuk ibadat yang dikatakan sebagai syariat yang dimaksudkan untuk menjamin kesatuan umat dan hubungan dengan Allah. Contoh ibadat mahdhah adalah sholat, zakat, puasa, dan haji.
- Ibadat ghairu mahdhah: Ibadat ghairu mahdhah atau umum atau muamalah merupakan segala perbuatan yang mendatangkan kebaikan dan dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah SWT. Ibadat ini dilakukan antar sesama manusia atau hubungan horizontal. Contoh ibadat ghairu mahdhah adalah silaturahmi, menjenguk orang sakit, sedekah, mencari ilmu, bekerja, membangun masjid, menolong orang, dan perbuatan baik lainnya.
- Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan: Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca Al-Qur'an.
- Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya: Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.
- Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya: Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti salat, puasa, zakat, dan haji.
- Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri: Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti puasa, iktikaf, dan ihram.
- Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak: Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang berutang kepadanya.
- Tujuan ibadah: Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridai Allah SWT., baik berupa perkataan maupun perbuatan. Tujuan ibadah adalah untuk membersihkan dan menyucikan jiwa dengan mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. serta mengharapkan rida-Nya.
- Macam ibadah: Ibadah dalam Islam ada lima macam, yaitu: Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan, seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca Al-Qur'an, Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah, Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti salat, puasa, zakat, dan haji, Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri, seperti puasa, iktikaf, dan ihram, Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang berutang kepadanya.
-
Prinsip-prinsip ibadah:
Ibadah yang disyariatkan oleh Allah Swt. dibangun di atas landasan
yangg kukuh, yaitu: Niat beribadah hanya kepada Allah, Ibadah yang
tulus kepada Allah Swt. semata haruslah bersih dari tendensi-tendensi
lainnya, Konsistensi dan ketekunan dalam menjalankan ibadah merupakan
prinsip dasar yang ditekankan dalam Islam, Ibadah yang dilakukan
dengan niat yang jernih, semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan
untuk pamer atau tujuan lainnya, Ketepatan dan ketatuan dalam
menjalankan ibadah.
3.3 Konsep Three-in-one (Iman-Ilmu-Amal)
Ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dalam ajaran Islam, yaitu iman, ilmu, dan amal.
Iman adalah keyakinan di dalam hati tentang adanya Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Satu keyakinan yang tidak akan pernah bertambah kualitasnya jika tidak disertai dengan ilmu. Demikian ilmu juga tidak akan bernilai apa-apa tanpa dibuktikan dalam bentuk amal perbuatan yang nyata.
Dapat dikatakan bahwa iman tanpa ilmu, hampa. Ilmu tanpa iman, sia-sia. Amal tanpa ilmu, percuma. Iman tanpa amal, dusta.
Allah swt menjelaskan keterkaitan antara iman dan ilmu dalam Q.S. Al Mujadalah ayat 11.
Artinya ; Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.Jika iman dan ilmu ini menyatu dalam hubungan yang indah dan harmonis, Allah akan mengangkat derajat hidup manusia setinggi-tingginya dengan memperoleh rahmat, hidayah, dan ampunan-Nya.
Tidak mungkin iman kita bisa semakin kokoh dan berkualitas bila tidak didasari dengan ilmu. Ilmu tidak ada gunanya jika tidak dapat melahirkan amal. Ilmu dan amal sia-sia jika tidak didasari iman.
Allah swt menggambarkan amal dan perbuatan baik orang-orang yang tidak beriman itu seperti fatamorgana yang tampak bagai air saat dilihat dari kejauhan. Para pelakunya ibarat orang yang sedang kehausan dan menuju tempat itu melepas dahaganya. Namun ketika didatangi tidak ada air setetespun. Artinya, amal tanpa didasari iman, hanyalah kebaikan semu, harapan palsu, dan bersiap untuk kecewa.
Iman yang sudah terukir dalam hati harus diimplementasikan dalam wujud amal shalih. Di dalam Quran, hampir setiap ayat yang menyebut kata iman diikuti dengan perbuatan baik. Artinya, iman itu harus dibuktikan kebenarannya. Tanpa pembuktian, bisa dikatakan keimananya itu dusta.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang memiliki akhlak yang baik, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang terbaik dalam akhlaknya terhadap istrinya.” (Sunan Tirmidzi)
Hadis ini menggambarkan bahwa iman yang sempurna diiringi dengan perilaku dan amal yang baik. Ini mencakup hubungan baik dengan sesama manusia, termasuk dalam lingkup keluarga.
Contoh konkret dari hubungan antara iman, ilmu, dan amal dalam kehidupan sehari-hari dapat diilustrasikan seperti Seorang Muslim meyakini dengan tulus bahwa shalat adalah kewajiban yang ditetapkan oleh Allah. Sebelum melaksanakan shalat, individu tersebut memahami tata cara, gerakan, dan bacaan yang benar berdasarkan ilmu agama Islam. Dengan keyakinan dan pengetahuan yang dimilikinya, individu tersebut melaksanakan shalat secara teratur dan dengan penuh khusyuk sebagai bentuk pengamalan dari iman dan ilmu yang dimiliki.
3.4 Ibadat Mahdhah
Ada dua kategori ibadat dalam Dinul Islam. Ibadat yang dilakukan dengan pedoman ketat (sejenis pakem plus) dan ibadat yang diatur hanya esensinya, sementara pelaksanaannya bisa terkait dengan kondisi lingkungan dan zaman. Tetapi, zaman tidak bisa mengatur bentuk dan jenis ibadat ini. Zaman hanya sekadar kondisi yang menandai atau mendorong hadirnya tafsir dan ijtihad. Satu contoh bentuk bahan ijtihad, ketika seorang muslim harus melaksanakan ibadat shaum di lingkungan alam yang rentang waktu siang atau malamnya lebih pendek atau lebih panjang, berbeda dengan perhitungan waktu siang dan malam di tempat yang normal. Shaum, begitupun shalat, sangat terikat dengan kondisi waktu yang ditandai dengan keberadaan matahari sebagai penanda perubahan waktu.
Istilah pakem hanya dipinjam untuk menunjukkan posisi aturan yang mengikat dan menjadi pola dalam kegiatan, tetapi karena pakem buatan manusia, pakem bisa diubah kapan saja. Sementara itu, pakem plus adalah pakem atau aturan pasti yang tak bisa diubah berdasar keinginan manusia. Sejak masa Nabi saw hingga kapanpun, ibadat yang terikat oleh pakem plus, ibadat mahdhah, tetap dengan pola yang sama, dengan aturan yang pasti persis sama pola kegiatannya.
Ibadat mahdhah juga dibagi menjadi beberapa macam, yaitu:
- Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan: Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan seperti zikir, doa, tahmid, dan membaca Al-Qur'an.
- Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya: Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan mengurus jenazah.
- Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya: Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti salat, puasa, zakat, dan haji.
- Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri: Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan bentuknya, seperti puasa, iktikaf, dan ihram.
- Ibadah ang berbentuk menggugurkan hak: Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan sesorang yang berutang kepadanya.
Ibadat mahdhah memiliki tujuan utama yaitu untuk menjamin kesatuan umat Islam dan hubungan dengan Allah SWT. Ibadat mahdhah juga merupakan hubungan vertikal antara manusia dan Allah SWT. Contoh ibadat mahdhah adalah sholat, puasa, zakat, dan haji.
3.4.1 Syahadatain
Redaksi syahadat sebagai ibadat ikrairyah tidak bisa diubah. Pola ikrar harus tetap diikuti tanpa tafsir dan usaha tawar-menawar. Ibadat ikrari ini harus mendasari semua perilaku muslim dalam menjalankan tugas kemanusiaanya sebagai mahluk ibadat. Yaitu, hanya berserah diri kepada Allah, mematuhi aturan (perintah dan larangan) Allah, dan mengikuti apa yang dicontohkan oleh Nabiyullah Muhammad saw: “Asyhadu an laa ilaaha illa-Allah, wa asyhadu anaa Muhammadan Rasuulullah”. Ikrar syahadat adalah ibadat mahdhah yang pertama.
Artinya ; Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (Q.S. Al-Baqarah, 02: 163)
Perintah-perintah tadi melengkapi ikrar syahadat uluhiyah yaitu dengan ikrar syahadat nabawiyah. Ikrar tadi dikenal dengan istilah syahadatain, dua kalimat ikrar perjanjian, dua kalimat syahadat. Yaitu, sebuah ikrar penyerahan diri untuk siap mengikuti segala aturan dan menjauhi segala larangan Allah swt yang SoP-nya sebagian besar dijeaskan dalam teladan (ucapan, perbuatan, maupun persetujuan) Nabiyullah Muhammad saw. Dua kalimat syahadat selanjutnya menjadi salah satu rukun (ikrari) di dalam pernyataan awal keislaman seseorang dan mewarnai semua perbuatan (fi’li) yaitu shalat, shaum, zakat, dan hajji. Lima fondasi rukun (yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan; KBBI offline) kerap disebut sebagai bentuk-bentuk pekerjaan ibadat mahdhah. Diawali dengan mengucapkan syahadatain. Ikrar ini adalah bentuk penyerahan diri hanya kepada Allah yang Mahaesa, tiada tuhan selain Allah, dan siap mengikuti semua yang menjadi teladan nabi sekaligus rasul-Nya: Muhammad saw. Ibadat mahdhah ikrari ini adalah pernyataan yang akan mendasari kesiapan melaksanakan ibadat-ibadat mahdhah lainnya: shalat,
zakat, hajji, dan shaum (lihat hadits riwayat Bukhari dan Muslim di atas).
3.4.2 Ibadat Shalat
Ibadat mahdhah yang kedua adalah shalat. Shalat terdiri atas shalat fardhu dan shalat sunnat. Shalat fardhu dan shalat sunnat memiliki kesamaan cara dan isi do’anya, tetapi jumlah rakaat dan waktu dalam shalat fardhu telah ditetapkan secara pasti, tak bisa diubah (kecuali dalam kondisi tertentu, kondisi rukhshah yang telah ditetap oleh Allah melalui uswah Rasulullah). Shalat wajib yang terdiri atas lima waktu shalat tertentu dengan jumlah rakaat yang tertentu, adalah shalat yang sangat diikat --terutama-- oleh ketetapan waktu. Jumlah hitungan raka’at shalat pun telah ditetapkan secara ketat: Zhuhur (4 raka’at), ‘Ashar (4 raka’at), Maghrib (3 raka’at), ‘Isya (4 raka’at), dan Shubuh (2 raka’at). Waktu, jumlah raka’at, dan cara melaksanakan shalat fardhu ditetapkan sebagaimana sabda Nabi yang mengikat pelaksanaan shalat wajib 5 waktu.
Shalat fardhu adalah ibadat mahdhah kewajibannya yang "melekat" kepada ibadat mahdhah lainnya, seperti shalat, zakat, dan hajji. Shalat fardhu merupakan salah satu dari lima ibadat mahdhah yang dikatakan dalam Al-Qur'an. Ibadat mahdhah adalah hubungan manusia dengan Tuhan atau hubungan secara vertikal. Kewajiban menunaikan ibadat mahdhah tersebut tercantum dalam Al-Qur'an, seperti surat Al Bayyinah ayat 5: "Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan sholat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar)". Ibadat mahdhah dapat dibedakan menjadi tiga macam: ibadah badaniyah mahdhah (ibadah jasmani seperti sholat, puasa, wudhu, dan sebagainya), ibadah maliyah mahdhah (ibadah yang ditunaikan dengan harta benda seperti zakat, infak, dan qurban), dan ibadah badaniyah wa maliyah (perpaduan antara ibadah badaniyah mahdhah dan ibadah maliyah mahdhah). Ibadat mahdhah ini merupakan hubungan manusia dengan Tuhan atau hubungan secara vertikal. Contoh ibadat mahdhah adalah sholat, zakat, puasa, dan haji.
shalat fardhu adalah iabadat yang harus didirikan oleh manusia muslim dalam kondisi apapun. Tak ada alasan untuk meninggalkan shalat fardhu karena Allah telah menyiapkan banyak rukhshah sejalan dengan kondisi kompatibilitas manusia dengan beragam tugas ibadat yang telah ditetapkan oleh Allahs wt. Pilihan rukhshah itu harus disesuaikan dengan kondisi sebenarnya yang dihadapi oleh manusia: bukan memanfaatkan kondisi kebolehan yang dipilih secara gampangan. Jika shalat seseorang telah dilaksanakan secara benar, jaminan Allah dalam Al-Quran adalah orang yang melaksanakan shalat secara baik dan benar bisa terpelihara dari melakukan fahsya dan mungkar. Yang paling utama, shalat (lebih khusus shalat fardhu) diposisikan sebagai tiang agama. Yang bisa meninggalkan shalat wajib hanyalah muslimah yang sedang berhalangan (haidh dan nifas), anak-anak yang belum baligh, dan orang yang hilang akal. Tidak ada qadha shalat, kecuali dalam kondisi lupa atau tertidur (misalnya) sebelum datang waktu shalat. Ketika ingat, ketika terbangun dari tidur, yang bersangkutan harus segera melaksanakan shalat yang tertinggal. Seseorang yang tertidur sebelum datang waktu shalat, misalnya sebelum datang shalat Zhuhur, kemudian dia terbangun pada waktu Ashar, dia harus melaksanakan shalat Zhuhur sebelum melaksanakan shalat Ashar. Intinya, shalat yang tertinggal harus dilaksanakan pada saat seseorang yang “lupa” mulai ingat lagi. Tetapi, jika sengaja tidur setelah waktu shalat datang, (wallau a’lam) harus hati-hati dalam melaksanakan shalat dengan kondisi lala
Shalat, lebih khusus shalat fardhu, adalah ibadat yang sangat terikat oleh pakem plus. Pakem shalat adalah teladan Nabiyullah Muhammad saw, kemudian menyebar melalui peniruan-peniruan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Kegiatan di luar pakem shalat, kini telah banyak dilakukan oleh masyarakat yang menafsir kegiatan shalat secara menyimang. Tentu saja kegiatan tersebut menjadi bahan perbedaan faham yang meruncing menjadi pertentangan antarmazhab, bahkan yang lebih buruk lagi menjadi ajang pertengkaran antarummat. Jika shalat dilakukan sejalan dengan pakem shalat yang telah diteladankan oleh Nabiyullah, perbedaan-perbedaan faham tersebut akan mendapatkan jalan keluar. Perbedaan-perbedaan faham di antara ummat ini adalah salah satu permintaan Nabi yang tidak diluluskan oleh Allah. Allah tidak meluluskan permohonan Nabi agar ummatnya berada pada kondisi yang ‘aman’, tanpa perbedaan. Tetapi Allah menetapkan perbedaan-perbedaan tersebut sebagai suatu bentuk ujian bagi manusia.
Di samping kewajiban yang sangat mengikat tentang shalat, Allah telah menyediakan satu aturan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kondisi-kondisi tertentu. Dalam pelaksanaan shalat wajib, ada sejenis ‘keringanan’ yang disebut dengan ‘rukhshah’. Rukhshah ini terkait dengan kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan kesulitan sementara bagi seseoarang. Musafir (kondisi dalam perjalanan), sakit, suasana ketakutan karena perang, adalah contoh kondisi yang bisa dikaitkan dengan berlakunya keringanan pelaksanaan shalat fardhu berbentuk rukhshah tadi. Sejumlah ulama menyebutkan bahwa rukhshah ini adalah nikmat yang disediakan oleh Allah agar manusia muslim tetap bisa menjalankan ibadat mahdhah shalat wajib dalam kondisi apapun. Rukhshah tadi menyebabkan seseorang boleh melaksanakan shalat wajib dalam waktu, jumlah rakaat, dan cara yang telah ditentukan, yang berbeda dengan pelaksanaan shalat fardhu dalam waktu yang normal.
Dalam kondisi rukhshah, Nabi saw juga mengajarkan pelaksanaan ibadat shalat fardhu dengan cara jama’. Pengertian istilah jama’ adalah menggabung dua waktu shalat dalam waktu shalat yang terdahulu atau terakhir, dengan persyaratan kondisi musafir. Dalam ketentuan, shalat-shalat fardhu yang bisa digabung adalah Zhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Shalat fardhu Shubuh ditetapkan tidak bisa digabung dengan pelaksanaan shalat yang lain. Ada dua ketetapan waktu tentang shalat jama’, yaitu jama’ taqdim dan jama’ takhir. Jama’ taqdim adalah penggabungan dua waktu shalat yang pelaksanaannya pada waktu yang pertama, sementara jama’ takhir adalah penggabungan dua waktu shalat yang pelaksanaannya pada waktu yang kedua. Misalnya, Zhuhur dengan Ashar dilaksanakan pada waktu Zhuhur (jama’ taqdim) atau sebaliknya pelaksanaannya pada waktu Ashar (jama’ takhir). Begitupun untuk penggabungan dua waktu shalat lainnya: Maghrib dengan Isya. Jumlah rakaat masing-masing shalat tetap sesuai denganketentuan awal (Zhuhur 4 rakaat, Ashar 4 rakaat, Maghrib 3 rakaat, dan Isya 4 rakaat). Para ahli fiqh sepakat bahwa pelaksanaan penggabung waktu shalat ini mengikuti urut-urutan waktu shalat yang normal sekalipun dalam pelaksanaan jama’ takhir. Dan, pada setiap akan melaksanakan shalat diawali dengan iqamat.
Shalat jamak qasar adalah shalat yang mengumpulkan dua jenis shalat dalam satu waktu dan jumlah rakaatnya diringkas. Contohnya adalah shalat dhuhur dan ashar yang dilaksanakan pada waktu dhuhur atau ashar, yang masing-masing 2 rakaat. Tata cara shalat jamak qasar meliputi berdiri menghadap qiblat, takbiratul ihram sembari berniat dalam hati untuk melaksanakan jamak qasar, serta melakukan shalat seperti biasanya hingga dua rakaat. Setelah itu, salam dilakukan dan berdiri lagi dan tidak diselingi perbuatan atau perkataan seperti dzikir, doa, dan sebagainya. Takbiratul ihram dilakukan semula sebelum melanjutkan shalat lainnya.
3.4.3 Zakat, Shaum, dan Hajji
Zakat, Shaum, dan Hajji, adalah ibadat mahdhah dalam paket Rukum Islam lainnya, yang juga sangat terikat dengan ketetapan waktu, tata cara pelaksanaan, dan tempat pelaksanaan (hajji). Semua ibadat mahdhah adalah ibadat utama yang harus dilakansakan oleh semua yang mengaku muslim/muslimat. Ibadat pokok ini adalah ibadat dasar, tanpa ibadat tambahan seorang muslim hanya mendapatkan pemenuhan kewajiban semata. Jika ingin mendapatkan sesuatu yang “lebih” dari sekadar memenuhi kewajiban, mereka harus melaksanakan ibadat-ibadat di luar ibadat mahdhah: ibadat ghair mahdhah.
- Zakat hanya akan berlaku kewajibannya terkait dengn sejumlah kondisi. Zakat dilengkapi persyaratan kondisi memiliki harta (hak penuh), nishab, dan cukup haul. Seseorang yang telah dianugerahi titipan harta dengan jumlah tertentu yang mencukupi syarat wajib zakat, maka yang bersangkutan, setelah satu tahun, harus mengeluarkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat: a) emas, perak, uang baik berbentuk uang logam maupun uang kertas; b) barang tambang dan barang temuan; c) barang dagangan; d) hasil tanaman dan buah-buahan; dan e) binatang ternak yang merumput sendiri (jumhur ulama) atau binatang yang diberi makan oleh pemiliknya (Mazhab Maliki). Di samping harta dimaksud yaitu harta bergerak yang setiap waktu bertambah dan berkurang, dalam sejumlah keterangan, termasuk harta hasil kerja profesi. Awal perintah yang disampaikan di dalam Al-Quran, kata zakat itu menggunakan kata perintah shadaqah, yang pada ujung ayat ditegaskan tujuannya yaitu “wa tuzakkiihim bihaa”. Kata lain yang biasa digunakan adalah perintah anfikuu (nafkahkan). Perintah zakat, dalam sejumlah ayat Al-Quran, dirangkaikan dengan perintah mengerjakan amal shalih, shalat, serta mengikuti perintah Allah swt dan Rasul. Artinya, amal shalih, shalat, mengikuti Allah swt dan Rasul, serta zakat harus dalam posisi saling melengkapi. Zakat yang wajib dikeluarkan oleh semua manusia muslim tanpa kecuali adalah zakat fitrah. Kewajiban zakat fitrah diikat oleh waktu tertentu yaitu menjelang shalat Idul Fitri. Orang banyak yang berusaha mencari waktu yang paling diangap afdhal dalam mengeluarkan zakat fitrah, yaitu menjelang shalat Idul Fitri. Tetapi, karena zakat telah diatur pengumpulan dan pendistribusiannya melalui sistem ‘amil, maka zakat fitrah juga zakat mal dikelola oleh badan ‘amil zakat (BAZ) yang kini berubah menjadi lembaga ‘amil zakat (LAZ). Lembaga inilah yang harus menyadari keinginan banyak orang, terutama yang ingin afdhal pennyerahan zakat fitrahnya, yang harus mengatur penjadwalan distribusi zakat fitrah tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Banyak kendala yang kerap menyertai keinginan melaksanakan ibadat secara lengkap, di antaranya terkait dengan waktu pelaksanaan zakat fitrah. Oleh karena banyak orang yang memerlukan waktu khusus melaksanakan silaturahim lebih awal (istilah populernya mudik), pengelola lembaga amil zakat harus menyediakan waktu yang lebih longgar agar warga bisa melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut secara lengkap. Biasanya, penerimaan zakat fitrah sudah dimulai pada hari ke-15 bulan Ramadhan hingga 1 hari menjelang hari raya Idul Fitri. Dengan cara seperti itu, para pemudik bisa mempercayakan penyerahan kewajiban zakat fitrahnya sebelum mudik. Para amil zakat bersiaga menerima titipan zakat fitrah dalam rentang waktu yang disebutkan tadi. Kegiatan penerimaan zakat fitrah ini biasanya bersamaan dengan pelaksanaan zakat mal dan infaq, karena banyak orang memanfaatkan bulan Ramadhan sebagai awal dan akhir perhitungan pembayaran zakat mal. Setiap individu muslim harus mengeluarkan zakat fitrah pada akhir Ramadhan sebanyak 3,5 kg beras (versi Indonesia), sesuai dengan harga beras yang biasa dikonsumsi (menjadi nasi) setiap hari. Kewajiban itu, tentu, sejalan dengan kondisi kemampuan setiap muslim. Muslim yang tidak mampu
seharusnya menjadi mustahiq zakat, berhak menerima zakat fitrah agar bisa merasakan kegembiraan malam dan hari Idul Fitri. - Menahan diri, al-imsaak, adalah arti asal kata shaum. Shaum atau di lingkungan masyarakat Indonesia lebih populer dengan istilah puasa (wajib) adalah ibadat mahdhah yang terkait ketat dengan waktu. Shaum wajib hanya disyariatkan pada bulan Ramadhan, sepanjang bulan Ramadhan yang diakhiri dengan hari raya Idul Fitri.
- Hajji adalah ibadat wajib yang kewajibannya bersyarat. Artinya, kewajiban awal hajji adalah kepada semua muslim, tetapi ketika muslim tersebut belum memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, maka kewajiban hajji sementara bisa ditangguhkan. Bahkan, bagi muslim tertentu yang belum diberi kemampuan untuk berhajji, kewajiban tersebut terus akan ditangguhkan hingga muslim tersebut mampu. Disebutkan bahwa ibadat hajji adalah ibadat yang tergolong berat. Sisi berat yang
dimaksud adalah menyangkut kemampuan tertentu. Yang dimaksud dengan kemampuan melaksanakan hajji terkait dengan kemampuan fisik (mampu melaksanakan perjalanan jauh dan melaksanakan sejumlah kegiatan rukun hajji yang memerlukan kekuatan fisik), kemampuan finansial, bahkan kemampuan yang terkait dengan keamanan baik di perjalanan maupun di tempat tujuan. Ibadat hajji bukan sekadar ritual masa lalu yang diulang-ulang tanpa makna tertentu. Hajji adalah ibadat yang mengajak manusia agar sadar lingkungan, sadar waktu, sadar tentang perbedaan, dan melatih kesabaran. Ketika manusia dari berbagai belahan Bumi berkumpul, dalam satu kesadaran ibadat, semua manusia akan menemukan betapa kasih sayang Allah swt sangat merata untuk semua mahluk. Semua hujjaj (orang yang sedang melaksanakan ibadat hajji) harus menempatkan diri dalam posisi yang sama (: syariat mengenakan kain ihram). Allah swt mempertemukan seluruh manusia yang mengaku muslim dalam kesamaan dan sekaligus perbedaan yang tampak nyata. Bahkan banyak kondisi nyata yang ditampilkan Allah swt segera setelah manusia melakukan sesuatu yang terindikasi menyalahi aturan Allah swt. Banyak pengakuan yang nyata-nyata sangat mengundang minat manusia lain ketika para hujjaj bercerita tentang kenikmatan
pelaksanaan ibadat ini. dan, begitu banyak kondisi lain yang terkait dengan pelaksanaan ibadat hajji ini.Ada ibadat yang dekat dengan ibadat hajji yaitu umrah. “Umrah secaa bahasa memang bermakna mengunjungi, mengunjungi ka’bah dan sebuah kunjungan yang menuntut persiapan jasmani dan ruhani yang kuat, karena umrah bukan kunjungan biasa ke ka’bah. Di dalam perjalanan umrah mengandung makna yang luas yakni ada dimensi ubudiyah (kebaktian) dan insaniyah (kemanusiaan). Umrah secara historis sebuah sejarah kemanusiaan para Nabi yang perlu diteladani. Perjalanan umrah bukanlah untuk mengisi waktu luang, pergi umrah adalah perjalanan spiritual yang melibatkan kesucian niat dan perilaku karena umrah yang satu dengan umrah yang lain --menurut hadits Nabi Muhammad saw-- sebagai penebus dosa, jikalau umrah dilakukan dengan ikhlas untuk peribadatan. Umrah memiliki esensi yang sarat dengan spiritualitas karena ada ‘sisi’ panggilan Allah yang diyakini setiap muslim telah ada dari zaman azali”
3.5 Ibadat Shalat sebagai Lokomotif
Ibadat mahdhah diikat aturan yang pasti. Perjanjian syahadatain, sebagai contoh. Sekalipun hanya diikrarkan pada awal ketika seseorang mengaku siap diatur oleh aturan Allah swt dan mengikuti uswah hasanah Nabi saw, perjanjian itu menjadi fondasi utama pernyataan siap mengikuti aturan Allah swt yang tak bisa diganti dengan aturan-aturan yang lain. Juga shalat fardhu diikat dengan aturan waktu, tempat, cara melaksanakan, dan jumlah satuan kegiatannya.
Ibadat mahdhah lainnya, sekalipun diikat oleh aturan, tetapi ada kondisi tenggang, ada kondisi keringanan tertentu yang bisa “melepas” kewajiban dalam melaksanakan ibadat tersebut. Ada kondisi tertentu yang menyebabkan seseorang bisa terbebas dari kewajiban melakasanakan ibadat mahdhah selain shalat wajib. Kebebasan itu, adalah kebebasan sementara. Ada kebebasan yang yang menyebabkan seseorang harus mengganti, seperti kebasan sementara dari kewajiban shaum, misalnya karena sakit. Penggantinya, bisa berupa mengganti shaum wajib di luar bulan Ramadhan atau mengganti kewajiban shaum dengan fidyah. Jika seseorang yang tidak bisa melaksanakan ibadat shaum wajib secara normal, juga tidak mampu menggantinya pada bulan lain, serta tidak sanggup mengeluarkan fidyah, maka kondisi tadi bisa menyebabkan lepasnya kewajiban. Tentu kondisi tadi tidak akan berlaku pada pelaksanaan ibadat shalat wajib, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Begitupun dengan ibadat mahdhah lainnya: zakat dan hajji. Seseorang yang belum mencapai nishab hartanya belum akan terkena kewajiban mengeluarkan zakat; seseorang yang belum bisa memenuhi kemampuan hajji (fisik, finansial, atau keamanan) belum terkena kewajiban hajji. Kewajiban-kewajiban tadi bergandengan dengan kesiapan-kesiapan tertentu sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan oleh Allah swt. Ibarat seseorang yang memiliki barang siap kirim yang telah tersimpan dalam sejumlah kereta barang, kekayaan tersebut tidak akan bisa diberangkatkan jika tidak tersedia kereta lokomotifnya. Kereka lokomotif adalah kereta yang memiliki kekuatan untuk menjalankan mesin dan mengangkut kereta barang. Begitulah ibarat posisi ibadat shalat, sebagai lokomotif yang bisa mengangkut amal ibadat lainnya yang diumpamakan sebagai kereta-kereta barang. Ibadat shalat wajib adalah lokomotif yang akan mengangkut semua pahala ibadat wajib dan sunnat yang telah dikumpulkan oleh seseorang.
Dalam beribadat mahdhah, seseorang tidak perlu perantara ketika harus menghadap kepada Allah swt. Allah swt bisa dihubungi tanpa batas ruang dan waktu. Akses kepada Allah swt terbuka untuk siapapun tanpa kecuali. Oleh karena itu, ibadat mahdhah adalah ibadat yang bersifat langsung. Manusia “berhadapan langsung” dengan Allah swt, lebih khusus pada waktu melaksanakan shalat. Allah swt menyediakan waktu untuk menerima do’a manusia pada setiap waktu. Dan, bahkan Allah swt menyediakan waktu khusus untuk menerima, menyambut, koneksi do’a manusia pada waktu-waktu khusus, waktu ijabah do’a. Tidak ada alasan Allah swt jauh dari hambaNya. Allah swt selalu dekat dengan hambaNya, sebagaimana urat nadi leher dengan pemiliknya.
Batasan shalat sebagai lokomotif berarti batasan waktu yang ditetapkan untuk melaksanakan shalat. Waktu shalat wajib dan sunnah diatur dalam Qur'an dan Hadits. Misalnya, shalat subuh harus dilaksanakan sebelum matahari terbit, dan shalat maghrib harus dilaksanakan sebelum matahari tenggelam. Kondisi kewajibannya shalat fardhu sebagai ibadat mahdhah berbeda dengan ibadat mahdhah lainnya, seperti zakat dan hajji. Ibadat mahdhah lainnya memiliki kewajiban tertentu yang ditetapkan dalam Qur'an dan Hadits, seperti zakat harus dibayar setiap tahun atau setiap bulan. Hajji harus dilakukan sekali selama hidup. Kondisi kewajibannya shalat fardhu sebagai ibadat mahdhah adalah berdasarkan waktu yang ditetapkan dalam Qur'an dan Hadits. Setiap waktu shalat fardhu memiliki batasan waktu yang harus ditetapkan dan dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
https://jabar.nu.or.id/syariah/qashar-dan-jamak-shalat-4GSbo
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5795266/pengertian-ibadah-mahdhah-dan-perbedaannya-dengan-ghairu-mahdhah
https://www.dompetdhuafa.org/batas-waktu-shalat-wajib-lengkap/
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1996. Fiqh Empat Madzhab. Jakarta: Daarul Ulum Press
https://almanhaj.or.id/453-kedudukan-hadits-tujuh-puluh-tiga-golongan-umat-
islam.html
https://lmizakat.id/blog/read/iman-ilmu-dan-amal
https://azwirbchaniago.blogspot.co.id
https://muslim.or.id/9539-panduan-zakat-10-zakat-harta-karun-dan-barang-tambang.
html
https://sabilulilmi.wordpress.com/2011/07/27/shaum-pengertian-dan-
hikmahnya/




Tidak ada komentar:
Posting Komentar