5.8 Peringatan Allah tentang Takaran dan Timbangan
Fenomena kejadian masih banyak terjadi saat ini antara lain masih banyak penjual yang mengurangi pengukuran dan takaran, banyak penjual yang tidak jujur dalam memasarkan produknya, semua kondisi itu akan merugikan pembeli, Fenomena ini menyebabkan banyak penjual yang belum mengetahui tata cara jual beli yang sesuai dengan syariat Islam karena dalam ajaran agama Islam tidak boleh berlaku curang yang merugikan orang lain karena perbuatan itu termasuk perbuatan dzalim1.
Larangan berbuat curang, merugikan dan berlaku dzalim karena dalam Islam manusia adalah makhluk sosial yang selalu berhubungan dengan makhluk lainnya. Manusia sekaligus sebagai khalifah yang mengemban amanat untuk memakmurkan kehidupan di muka bumi, karena manusia diberikan kedudukan yang terhormat sebagai mahluk yang paling mulia disisi Allah SWT. Agar kegiatan bernilai ibadah bagi manusia, manusia harus menjalankan aktivitas hidup dengan menjunjung tinggi ajaran dan nilai-nilai Islam yang terkandung dalam Al-Quran serta petunjuk pelaksanaan yang diberikan oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya.
Al-Quran adalah kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai mukjizat yang paling kekal, karena Al-Quran dapat digunakan oleh umat Islam dari zaman dahulu sampai zaman kita sekarang. Al-Quran adalah “hudallinnasi” petunjuk bagi umat manusia, dan menjadi sumber penguat kehidupan umat Islam. Salah satunya firman Allah SWT mengenai keadilan takaran dan timbangannya ada dalam surat Hud ayat 85:imbangan adalah dalam Surat Hud ayat 85:
وَيٰقَوْمِ اَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ
“Dan wahai kaumku! Penuhilah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di Bumi dengan melakukan kerusakan."
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kita untuk berlaku adil dalam menimbang dan menakar dalam transaksi jual beli. Janganlah kita Berbuat jahat dengan berlaku curang sehingga merugikan orang lain atau membuat hidup orang lain sengsara.
Kegiatan perdagangan memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan manusia. Sektor perdagangan dianggap cukup menjanjikan dalam meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia. Sektor ini mendatangkan keuntungan yang nyata besar bagi para pelakunya. Hanya saja, kegiatan ini akan mendatangkan permasalahan yang cukup serius jika dilakukan tanpa mengikuti aturan dan norma. Perdagangan yang pada dasarnya bertujuan untuk mencari keuntungan dengan cara dan aturan utama yang telah ditetapkan, tetapi sewaktu-waktu dapat diselewengkan oleh pelakunya untuk berbuat curang demi keuntungan lebih.
Allah swt secara khusus mengingatkan manusia tentang pentingnya menjaga takaran dan timbangan. Jika diperiksa secara mendalam, kaitan pengertian takaran dan timbangan bisa mengandung dua makna: makna lahiriah (takatan dan timbangan yang biasa digunakan dalam urusan jual-beli) dan makna lain yang lebih jauh terkait dengan takaran dalam menentukan penilaian hukum, penilaian kejadian suatu perkara tertentu, serta penilaian-timbangan terkait dengan penentuan sikap keadilan. Dua hal utama tadi menjadi topik trading dalam banyak kejadian dan periode zaman. Yang diungkap oleh Allah swt di dalam Al-Quran lebih khusus tentang kaum pemalsu takaran dan skala yang diperlakukan sebagai masyarakat yang --akhirnya-- dikenai azab Allah swt.
Urusan takaran dan timbangan seakan-akan hal kecil yang tidak banyak berdampak dalam tatanan kehidupan yang besar. Padahal, urusan takaran dan timbangan ini justru menjadi akar keburukan dalam urusan ekonomi ummat. Sementara itu, masalah ekonomi telah menjadi masalah yang (kemudian menjadi) sangat besar, sebagai penyangga mendasar persoalan kesejahteraan hidup masyarkat. Secara duniawi,
keadaan-kecurangan yang dilakukan para pelaku ekonomi dalam urusan menakar dan menimbang produk pasar mereka bisa dihitung akumulatif harian, mingguan, bulanan, tahunan, yang terkait dengan jumlah orang yang melakukan kondisi tersebut dan orang yang memanfaatkan hasil kondisi. Kasus uang kembalian (recehan) di sejumlah toko swalayan yang kini menjamur, bukan hal yang sederhana
perhitungannya. Hal itu akan terakumulasi dengan jumlah yang diperoleh dari penerimaan yang masalahnya, yang bisa mereka kumpulkan dalam jaringnan kerja mereka yang sangat menggurita. Kecurangan lain bisa berderet jika dijejerkan dan dapat dihitung secara matematis, semuanya sangat merugikan masyarakat, bahkan negara.
Pendidikan karakter biasanya berlangsung secara dominan melalui keteladanan.
Seorang pecurang telah menjadi teladan utama bagi anak dan istrinya. Oleh karena itu, penikmat (sadar maupun tidak sadar) hasil kondisi untuk mengikuti pola sumbernya. Kemudahan-kemudahan yang dibiasakan akan membentuk karakter 'ingin serba mudah' yang melahirkan perilaku suap, tidak suka antri, penyerobot, dan aneka keburukan perilaku yang tidak normal. Pendidikan korupsi telah dimulai dari lingkungan keluarga.
Di balik semua perilaku dalam menggunakan takaran dan timbangan, ada kerusakan yang sangat besar, yang bisa menular lewat keteladanan, pembiasaan, bahkan pemaksanaan karena adanya kekuasaan.
Dalam Islam ada etika bisnis yang dianjurkan oleh Rasullulah SAW antara lain :
1. Kejujuran
Seorang pedagang wajib mentaati semua aturan Allah SWT dan menjauhi semua larangannya. Allah SWT melarang umatnya untuk tidak diam jujurdalam kegiatan sehari hari. Ketidakjujuran mengakibatkan hal buruk baik didunia ataupun diakhirat. Oleh karena itu, kejujuran harus dipegang teguh oleh para pedagang saat ini.
2. Tidak ada unsur riba
Riba adalah tambahan pembayaran dalam utang atau pinjaman yang diberikan kepada pihak yang meminjam atau dengan kata lain riba adalah bunga pinjaman. Riba sangat diharamkan oleh Islam berikut beberapa surah Al-Quran yang menjelaskan mengapa riba sangat di larang.
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
Artinya : orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah terjadi diperolehnya terlebih dahulu miliknya menjadi dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa kembali, maka mereka menghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.SAl-Baqarah ayat 275).
3. Tidak melakukan sumpah palsu
Sangat dilarang bagi para pedagang melakukan sumpah palsu, memang barang yang dijual habis terjual tetapi hasil yang didapat tidak berkah.
4. Rama Tamah
Senantiasa para pedagang menyambut pembeli dengan sikap yang ramah tidak ketus, suka mengalah dan sopan santun. Pada dasarnya jiwa seseorang akan merasa senang jika diperlakukan dengan cara yang sopan dan santun. Selain itu kita dilarang sombong kepada siapa pun karena rahmat Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang sombong (Raihanah, 2019).
5. Tidak menjelekkan dagangan pedagang lain
Perbuatan yang tidak dianjurkan dalam etika bisnis Islam. Dalam Islam, pengkhianatan atau mencaci dagangan orang lain dianggap sebagai perbuatan tercela dan tidak disukai oleh Allah SWT (Hulaimi, 2017).
Etika bisnis memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan konsumen. Etika Bisnis memberikan suatu dorongan kepada konsumen untuk mewujudkan ikatan hubungan yang kuat.
5.9 Konsep Halal Thayyiban
Kerap menjadi bahan perbincangnan di ruang publik bahwa konsep halalan thayyiban hanya dikaitkan dengan kondisi halalnya secara fisik. Misalnya, ketika seseorang telah menyiapkan bahan makanan sejenis masakan berbahan ayam. Secara fisik, ayam adalah jenis binatang yang dihalalkan secara syar'i, lain halnya dengan hinzir yang telah di-nash di dalam Al-Quran sebagai binatang yang haram untuk dikonsumsi. Orang merasa cukup aman jika makanan yang dihidangkan berbahan ayam. Banyak orang muslim yang berani mengonsumsi makanan berbahan dasar ayam dan sejenisnya, yang dimasak oleh orang-orang non-Muslim. Ada kehati-hatian yang cenderung dikorbankan, terutama ketika dihadapkan dengan situasi acara makan di lingkungan non-Muslim. Padahal, fisik ayam yang halal harus disertai dengan cara mengolahnya: cara memotongnya, proses memasaknya yang tidak mencampurkan bahan yang diharamkan, bahkan masalah tempat memasak dan menyajikannya pun menjadi persyaratan kehalalan makanan tersebut.
Yang dimaksud halal dalam makanan atau apapun yang kita konsumsi merupakan makanan atau barang yang tidak haram dan kita tidak dilarang oleh agama untuk mengkonsumsinya. Lebih lanjut lagi, menurut Mu'jam al Wasith, keharaman ini terdiri dari dua aspek, yakni:
- Haram secara materi (dzat) yang telah ditetapkan oleh syariat. Contohnya bangkai, babi, dan darah.
- Haram bukan dari materinya. Seperti cara mendapatkan, membeli, hingga mengolah barang atau makanan tersebut.
Thayyib, menurut laman Nu Online, secara umum bisa diartikan sebagai sesuatu yang dirasa enak oleh indera maupun jiwa. Thayyib sendiri memiliki beberapa arti, bisa elok, enak, suci dan bersih, bahkan dalam konteks fiqih, berarti halal pun bisa.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَا تَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
Artinya: “Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian” (QS al-Baqarah: 168).
وَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَ ال َّذِيْٓ اَنْتُمْ بِهٖ مُؤْمِنُوْنَ
Artinya: dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya (QS Al-Maidah: 88)
فَكُلُوْا مِمَّاغَنِمْتُمْ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ الل ّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Anfal : 69).
فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَ تَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
Artinya: Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.(QS An-Nahl: 114).
M. Quraish Shihab memaparkan bahwa perintah Allah untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang halal ini berlaku untuk seluruh umat manusia, baik untuk orang-orang yang tidak beriman kepada Allah. Akan tetapi, beliau juga mengatakan, tidak semua makanan dan minuman yang halal pasti baik sebab halal sendiri terdiri dari empat jenis, yaitu wajib, sunnah, mubah, dan makruh. Lebih jauh lagi, tidak semua barang atau makanan yang halal sesuai dengan kondisi setiap orang.
Adapun cara mengidentifikasi makanan dan minuman halalan tayyiban tentunya bukan perkara mudah, namun ada beberapa penjelasan yang bisa membantu kita. Misalnya seperti yang dijelaskan oleh Nuraini dalam jurnalnya Halalan Thayyiban Alternatif Qurani Untuk Hidup Sehat. Untuk menilai makanan dan minuman yang halal, kita harus mengetahui semua jenis makanan dan minuman yang diharamkan oleh Allah SWT. Mengapa demikian? Karena makanan dan minuman yang haram jumlahnya terbatas dan sangat jelas dibandingkan yang halal. Dengan kata lain, semua jenis makanan dan minuman yang tidak diharamkan oleh Allah SWT adalah makanan dan minuman yang halal untuk dikonsumsi. Selain itu, secara umum ketika makanan dan minuman dinyatakan halal, maka secara otomatis bisa dikatakan thayyib atau baik. Alasannya karena halal memang makanan dan minuman yang baik.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa makanan dan minuman yang baik adalah semua rezeki yang telah dihalalkan Allah SWT untuk kita. Baik dari tumbuhan, buah-buahan, maupun hewan. Lebih lanjut M. Quraish Shihab menegaskan bahwa halalan dan thayyiban harus diimplementasikan sekaligus melalui pemaknaannya menggunakan pendekatan yang berbeda. Artinya, ketika menilai makan dan minuman, kita tidak bisa memilih yang halal saja atau yang baik saja, tapi harus yang halal dan juga baik. Jika ingin mengetahui berbagai macam makanan halal dan haram, kamu bisa membaca buku Makanan Halal dan Haram. Buku ini akan membimbing kalian untuk mengetahui nama makanan yang halal dan mana makanan yang haram. Sehingga kalian memiliki pedoman yang jelas berdasarkan penjelasan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, perihal mana makanan yang boleh dikonsumsi dan mana yang mesti dijauhi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafiq. (2019). Penerapan Etika Bisnis Terhadap Kepuasan Konsumen dalam pandangan Islam. El-Faqih : Jurnal Pemikiran Dan Hukum Islam.
https://islam.nu.or.id/tafsir/makna-halalan-thayyiban-dalam-al-qur-an-lQ1AD.
Nuraini, Halalan Thaiban Alternatif Qur'ani dalam Kehidupan.
Suryana, Jajang. 2010. Buku Ajar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi
Umum. Singaraja: Tespon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar